Dengan aset mencapai Rp31,9 triliun di akhir 2024, Bank Aceh bukanlah bank yang tidak sehat. Hanya saja persoalan politik dan bongkar pasang direksi membuat bank daerah ini dikenakan sanksi. Persoalan Good Corporate Governance (GCG) menjadi sorotan. Meski demikian Bank Aceh terus bertumbuh di tengah gejolak.
Bank Aceh telah melewati setidaknya tiga “ujian” besar, mulai dari konflik bersenjata di Aceh yang membuat aktivitas bank tergangu, musibah tsunami di akhir 2024 yang meluluhlantakkan Aceh, kemudian kebakaran kantor pusat pada April 2015. Tiga ujian itu mampu dilewati dengan baik. Hanya saja kini, Bank Aceh diterpa ujian baru; politisasi yang berujung pada bongkar pasang direksi.
Bongkar pasang sudah dimulai pada masa Penjabat (Pj) Gubernur Aceh dijabat Achmad Marzuki. Pada 9 Maret 2023 mantan Pangdam Iskandar Muda itu melantik Muhammad Syah sebagai Direktur Utama (Dirut) Bank Aceh.
Sebulan kemudian, April 2024 Achmad Marzuki memberhentikan dengan hormat empat direksi dan dua komisaris Bank Aceh. Mereka yang dicopot adalah Direktur Operasional Lazuardi, Direktur Dana dan Jasa Amal Hasan, Direktur Bisnis Bob Rinaldi dan Direktur Kepatuhan, Yusmaldiansyah. Sementara, dua komisaris yang diberhentikan adalah Komisaris Utama Taqwallah dan Komisaris Independen Muslim A Djalil.

pj gubernur aceh, achmad marzuki, saat mengambil sumpah jabatan dan melantik muhammad syah sebagai dirut pt. Bank aceh syariah (persero) di gedung serbaguna setda aceh, banda aceh, kamis, 9 maret 2023. Foto: ist.
Pencopotan yang dilakukan Achmad Marzuki membuat Governance Structure Bank Aceh jadi tergangu. Ini pula yang kemudian menjadi sorotan OJK. Hal yang kemudian membuat Bank Aceh dikenakan sanksi tidak bisa ekspansi. Rencana pembangunan gedung baru Kantor Pusat Bank Aceh. Padahal desain gedung dan sayembara pemenang sudah dilakukan sejak masa Gubernur Nova Iriansyah. Semua jadi terhenti secara tiba-tiba. Rencana pembangunan tiga Kantor Cabang juga terhenti di tengah jalan. Padahal anggaran untuk itu sudah disediakan.
Untuk melengkapi Governance Structure tadi, Achmad Marzuki melantuik Fadhil Ilyas sebagai Direktur Bisnis, dan Muhammad Hendra Supardi sebagai Direktur Dana dan Jasa. Tapi upaya melengkapi Governance Structure ini juga kandas, ketika pada 13 Maret 2024 Achmad Marzuki dicopot dari jabatan Pj Gubernur Aceh digantikan Bustami Hamzah.
Petaka dari perubahan suhu politik kembali menerpa Bank Aceh. Pada 5 April 2024 Bustami Hamzah mencopot Muhammad Syah dari jabatan Dirut Bank Aceh. Bersama Muhammad Syah juga dicopot Direktur Operasional Zulkarnaini. Governance Structure Bank Aceh kembali tergangu. Sebagai Pelaksana Harian (Plh) Dirut Bank Aceh ditunjuk Fadhil Ilyas.

Sebulan kemudian pada 6 Mei 2024 jabatan Fadhil Ilyas dari Plh dinaikkan menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Dirut Bank Aceh. Pada saat itu Fadhil Ilyas menjabat sebagai Direktur Bisnis Bank Aceh.
Bongkar pasang masih berlanjut, pada Februari 2025 Fadhil Ilyas dicopot dari jabatan Plt Dirut Bank Aceh, sebagai gantinya ditunjuk Muhammad Hendra Supardi. Dan pada 14 Maret 2025 Fadhil Ilyas diberhentikan dari jabatan Direktur Bisnis. Bersamanya juga diberhentikan Nurmiati dari jabatan Direktur Kepatuhan. Lagi-lagi upaya untuk melengkapi Governance Structure Bank Aceh gagal.
Tiga hari kemudian, pada 17 Maret 2025, Fadhil Ilyas yang sebelumnya sudah diberhentikan dari Jabatan Direktir Bisnis. Ia juga diusulkan kembali menjadi Dirut. Begitu juga dengan mantan Dirut Muhammad Syah juga kembali diusulkan menjadi Dirut.
Terus Tumbuh di Tengah Gejolak
Menariknya, di tengah gonjang-ganjing bongkar pasang menemen seperti itu, kinerja Bank Aceh masih menunjukkan pertumbuhan. Aset Bank Aceh pada akhir 2023 tercatat Rp30,4 triliun meningkat menjadi Rp31,9 triliun di akhir 2024.
Intermediasi Bank Aceh juga menunjukkan tren yang baik. Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun pada 2023 sebesar Rp24,4 triliun bertambah menjadi Rp26,2 triliun di akhir 2024 atau tumbuh sebesar 7,15 persen.
Di sisi lain, pembiayaan yang disalurkan Bank Aceh juga meningkat dari Rp18,7 triliun di tahun 2023 menjadi Rp20,4 triliun di akhir 2024, tumbuh sebesar 8,19 persen. Begitu juga dengan laba yang diperoleh naik dari Rp575 miliar pada 2023 menjadi Rp590 miliar di tahun 2024. Laporan Tahun Buku 2024 Bank Aceh juga memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Kantor Akuntan Publik, karena dinilai berhasil menjalankan tata kelola perusahaan yang baik dan transparan.
Hal itu pula yang kemudian membuat organisasi sebesar Muhammadiyah menggandeng Bank Aceh. Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mempercayakan Bank Aceh sebagai mitra penyedian dan pemanfatan layanan keuangan perbankan. Penandatangan kesepahaman (MoU) dilakukan di Kantor PP Muhammadiyah di Yogyakarta, 9 Januari 2025.
Pada Agustus 2024 juga berhasil meraih Financial Literacy Award 2024 kategori Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) Teraktif dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pusat. Penghargaan ini diberikan karena Bank Aceh menjalankan berbagai program inovatif literasi keuangan yang berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat Aceh akan pentingnya literasi keuangan.

Pada 11 Juli 2024 Bank Aceh juga meraih penghargaan Pariwara Antikorupsi 2024 dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebulan sebelumnya pada Juni 2024 Bank Aceh kembali dipercaya oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Satuan Kerja Penyediaan Perumahan Provinsi Aceh Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Sumatera I Direktorat Jenderal Perumahan sebagai penyalur Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) untuk Provinsi Aceh Tahun 2024.
Bank Aceh telah menjadi mitra sebagai penyalur dana BSPS Tahun 2018, 2022, dan 2023 dengan total penyaluran dana sebesar Rp. 642.740.000.000. Pada tahun 2023 seluruh dana BSPS berhasil disalurkan sebesar Rp. 247.840.000.000 kepada 12.392 penerima yang tersebar di 19 kabupaten/kota di Aceh. Sementara pada tahun 2022 disalurkan sebesar Rp. 343.000.000.000 kepada 17.150 penerima yang tersebar di 13 kabupaten/kota. Jauh sebelumnya pada tahun 2018 sebesar juga Bank Aceh menyalurkan Rp 51,9 miliar kepada 3.458 penerima.
Bukan itu saja, pada Maret 2024, Bank Aceh juga berhasil meraih penghargaan pada acara Five Star Innovation Exellent Award 2024 sebagai Bank as The Most Reputable Bank in Innovation and Banking Service System of the Year 2024 untuk kategori Reputable Bank. Penghargaan diberikan oleh 5 Pilar Media Communication dan Lembaga Nasional Prestasi Indonesia bekerjasama dengan National Awarding Research Center.
Pada Januari 2024 Bank Aceh berhasil meraih peringkat idA+ dari PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) atas penilaian kinerja bank tahun 2023. Peringkat idA+ menunjukkan bahwa Bank Aceh memiliki kemampuan yang kuaat dibandingkan obligor Indonesia lainnya untuk memenuhi komitmen keuangan jangka panjangnya.
Sebelumnya pada Agustus 2023 Bank Aceh juga kembali meraih penghargaan Infobank Award 2023. Penghargaan tersebut diberikan atas kinerja keuangan Bank Aceh. Bank Aceh kembali berhasil meraih predikat sangat bagus. Pencapaian ini diperoleh setelah Bank Aceh berhasil masuk dalam lima besar kelompok bank yang memiliki modal inti sampai dengan Rp 6 triliun atau KBMI 1 dengan catatan kinerja keuangan yang postif.
Harapan OJK Pada Bank Aceh
Kembali ke upaya pemenuhan Governance Structure Bank Aceh, Kepala OJK Aceh Daddi Peryoga dalam keterangan tertulisnya, Senin malam, 17 Maret 2025 berharap Bank Aceh bisa memiliki pengurus (Direksi dan Komisaris) yang benar-benar berintegritas, cerdas, kredibel dan mampu membawa kemaslahatan bagi rakyat Aceh.
Untuk memperoleh itu Daddi menilai tidak mudah, perlu pengalaman dan track record yang baik, serta harus mengikuti proses fit and proper OJK. Namun Daddi mengakui pihaknya belum menerima permohonan resmi untuk itu dari Bank Aceh.
“OJK belum menerima permohonan resmi atas hal tersebut. Tentunya jika hal tersebut benar dan dimohonkan ke OJK untuk di proses lebih lanjut, maka kita akan proses sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” jelas Daddi.
Daddi juga menghimbau agar seluruh masyarakat juga memperhatikan prosesnya sesuai ketentuan yang berlaku, baik proses di internal maupun eksternal, karena Aceh adalah satu-satunya provinsi yang diberi keistimewaan untuk menerapkan Prinsip Syariah. “Untuk itu, agar dijaga amanah rakyat ini berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran sebagaimana tercatat dalam rukun iman dan Islam,” harapnya.

Harapan Daddi juga merupakan harapan kita semua. Kita ingin Bank Aceh terbebas dari politisasi dan bongkar pasang manajemen, agar Bank Aceh sebagai bank daerah bisa menjalankan tugas utamanya dalam meningkatkan pemanfaatan potensi sumber-sumber kekayaan daerah, serta meninkatkan taraf hidup rakyat dengan cara merangsang pertumbuhan ekonomi melalui pemberian modal (pembiayaan).
Good Corporate Governance
Lebih dari itu kita tentu juga berharap Bank Aceh agar benar-benar bisa menerapkan Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik. Ini bertujuan untuk menghasilkan outcome yang sesuai dengan harapan stakeholders.
Bank Aceh harus melaksanakan GCG di seluruh jenjang organisasi dengan berpedoman pada berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelaksanaan prinsip GCG tentu harus didukung oleh kecukupan Governance Structure, mulai dari kelengkapan Dewan Komisaris, Direksi, Komite Audit, Komite Pemantau Risiko, Komite Remunerasi dan Nominasi, infrastruktur tata kelola bank yang lengkap, dan lain sebagainya.
Penerapan GCG secara konsisten akan memperkuat nilai dan posisi daya saing usaha Bank Aceh dalam industri perbankan yang semakin kompetitif dan kompleks, sekaligus mempertahankan keunggulan dan perkembangan usaha Bank Aceh secara sehat dan berkesinambungan. Melihat apa yang telah diraih selama ini meski di tengah gejolak, tampaknya Bank Aceh akan mampu keluar dari “kemelut” politik dan terus on the track bertumbuh menjadi bank kebanggaan masyarakat Aceh. Semoga.[]