25.5 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

Aceh Hari Ini, 28 Januari 1874: Kabinet Perang Aceh Membentuk Lembaga Wali Nanggroe

Pada 28 Januari 1874, raja Aceh Sultan Alaidin Mahmud Syah mangkat di Lueng Bata. Putra mahkota Muhammad Daud Syah dinobatkan sebagai raja, pengangkatannya sebagai raja hanya sebagai simbol, karena jalannya pemerintahan  dilaksanakan oleh kabinet perang, yang pada hari yang sama membentuk lembaga Wali Nanggroe.

Lembaga Wali Nanggroe dibentuk dalam musyawarah yang diprakarsai oleh Ketua Majelis Tuha Peut Kerajaan Aceh Tuanku Muhammad Raja Keumala. Pembentukan lembaga Wali Nanggroe ini bertujuan untuk mempersatukan rakyat Aceh di bawah satu komando dalam perang melawan penjajah Belanda.

Rapat pembentukan lembaga Wali Nanggroe dihadiri oleh para ulama dan kebinet perang kerajaan Aceh yang tergabung dalam Majelis Tuha Peut Kerajaan Aceh. Majelis ini terdiri dari Tuwanku Muhammad Raja Keumala, Tuwanku Hasyim Banta Muda, Teuku Panglima Polem Raja Kuala dan Teungku Cik Di Tanoh Abee Syech Abdul Wahab.

Baca Juga: Pengaturan Keamanan Untuk Kemanusiaan Diterapkan

Musyawarah Tuha Peut Kerajaan Aceh itu memutuskan menarik semua kekuasaan raja ke hadapan Tuha Peut Kerajaan Aceh, karena sultan saat itu masih berusia tiga tahun dan belum mampu memerintah kerajaan, apa lagi dalam suasana perang melawan penjajah Belanda, Majelis Tuha Peuet Kerajaan Aceh kembali melakukan musyawarah membahas kelanjutan pemerintahan yang kemudian melahirkan pembentukan lembaga Wali Nanggroe.

Dalam musyawarah pada 28 Januari 1874 itu, Ketua Majelis Tuha Peut Kerajaan Aceh Tuanku Muhammad Raja Keumala mengambil keputusan untuk mempersatukan rakyat Aceh di bawah satu komando dalam perang melawan penjajah Belanda, dibentuklah lembaga Wali Nanggroe.

Sebagai Wali Nanggroe diangkat Teungku Chik Di Tiro dengan gelar Al Malik Al Mukarram Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman Bin Abdullah. Lembaga Wali Nanggroe inilah yang mempersatukan rakyat Aceh dalam perang melawan penjajah Belanda.

Baca Juga: Panglima GAM Abdullah Syafii Syahid

Setelah diangkat menjadi Wali Nanggroe, Teungku Chik Di Tiro bersama ribuan pejuang Aceh berkali-kali melakukan penyerangan ke bivak-bivak dan benteng pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kalang kabut menghadapi pejuang Aceh. pemerintah Kolonial Belanda tidak pernah aman berada di Aceh. Sejak saat itu Teungku Chik Di Tiro sebagai Wali Nanggroe dan ulama besar pemegang komando perang, menjadi orang yang paling dicari oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Gubernur Sipil dan Militer Belanda kedua di Aceh Jenderal Laging Tobias yang menjabat dari tahun 1882 hingga 1884 mengakui Teungku Chik Di Tiro sebagai Wali Nanggroe Aceh memiliki pasukan tanggung  dengan taktik gerilya yang sangat menyulitkan Belanda. Ia mengirim surat permintaan perdamaian kepada Teungku Chik Di Tiro, tapi permintaan itu ditolak mentah-mentah. Perang terus berkecamuk.

Gagal mengajak Wali Nanggroe Kerajaan Aceh Teungku Chik Di Tiro berdamai, Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mengambil kebijakan “Lini Konsentrasi”, tentara Belanda ditempatkan dalam kamp-kamp dan benteng-benteng terpusat untuk menghindari perang.

Baca Juga: Jenderal Van Swieten Mengubah Nama Banda Aceh

Kebijakan lini konsentrasi ini diberlakukan pada masa Gubernur Sipil dan Militer Belanda di Aceh dijabat oleh Mayor Jenderal Demmeni. Ia dilantik menjadi gubernur pada September 1884 dan meninggal pada 13 Desember 1888.

Lini konsentrasi diciptakan oleh Mayor Jenderal AWP Weizel. Ia membuat serangkaian benteng di wilayah Aceh Besar yang dihubungkan dengan lori. Namun sistem ini tidak dapat memaksa pasukan pejuang Aceh untuk menyerah, bahkan sebaliknya terus menyerang.

Akibatnya, Belanda kehabisan banyak anggaran hanya untuk membangun benteng-benteng sebagai tempat konsentrasi pasukan. Selain itu, moral pasukan Belanda yang dikurung dalam benteng merosot, mencekam dalam suasana tegang dalam benteng. Kunjung mengunjung antar benteng di antara para istri opsir dan perwira Belanda harus dilakukan dengan menggunakan lori dengan pengawalan pasukan khusus.

Baca Juga: Gerilyawan Aceh Membunuh 16 Marsose

Dana yang dihabiskan untuk membangun benteng lini konsentrasi dan rel lori penghubung antar benteng juga tidak sedikit. Belanda juga harus membentuk brigade sepeda lori yang mondar-mandir antar benteng. Belanda benar-benar tak dapat mengendalikan suasana di Aceh.

Sikap defensif pasukan Belanda itu kemudian diolok-olok oleh pejuang Aceh dengan mengirim surat-surat ancaman dan ajakan berperang di tempat terbuka, karena itu mental pasukan Belanda bertambah jatuh, mereka tidak berani menjawab ajakan perang dari pejuang Aceh. Dan sampai Belanda keluar dari Aceh pada tahun 1942, setelah 69 tahun berperang, Belanda tidak memperoleh pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Aceh.

Lebih jelas bisa dibaca dalam beberapa buku seperti buku Perang Sabi Menjiwai Perang Aceh Lawan  Belanda yang ditulis oleh Prof Ali Hasjmy dan diterbitkan pada tahun 1971 oleh Pustaka Faraby di Banda Aceh. Kemudian buku Atjeh yang ditulis oleh penulis Belanda HC Zentgraff diterbitkan oleh Koninklijke Drukkerij De Unie, Batavia, buku Atjeh Oorlog karya Paul van’t Veer, serta buku The Dutch Colonial War In Aceh yang diterbitkan oleh PDIA pada tahun 1990.[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS