Oleh Aneuek Cabak
Kisah seorang korban korban konflik yang terhimpit antara dua pihak. Perjalanan hidupnya mengubah caranya memandang hidup dan berbagai fonomena sosial.
Sekarang namanya Ardo. Nama ala latin itu barangkali singkatan. Semasa digampong namanya Abdurrahman. Ayahnya Abdullah biasa di panggil Apa Dolah. Kini dia bertato tengkorak. “Tato nyoe masa awai wate mantong di gampong hai, geulukis le Pak Yosep,” jelasnya. Beberapa bulan ini Ardo kembali ke gampongnya. Setelah puluhan tahun menjadi pelarian. Akhir 90-an di pergi tanpa kabar. Orang orang menduga dia telah hilang alias mati.
“Saya memang lari saat itu, sebab akan dibunuh salah satu pihak bertikai,” kenangnya menerawang. Masa mudanya memang tak karuan. Bengal dan putus sekolah karena miskin. Apa Dolah hanya muge boh ubi. Kehidupan yang serba kurang membuat Ardo jadi “kameng keude”. Hidup tanpa arah di pasar. Jarang pulang dan bekerja serabutan.
Suatu ketika di tangkap tentara. Pasalnya dia ditemukan bersembunyi di paret pasar ikan ketika usai kontak tembak. Dibawa dan di tahan di Pos tentara. Kabarnya belakangan dia menjadi “Cuak”. Alias pembantu operasi sebagai warga lokal. “Saya memang dibawa operasi, tapi tak pernah nunjuk orang apalagi terlibat mata mata,” tepisnya soal tuduhan cuak.
Dan mungkin benar apa katanya, “Gara gara nyan tentara mencurigai saya mata mata GAM yang disusupkan, sementara pihak GAM menuduh saya Cuak, makanya ada kesempatan saya lari sajalah,” jelasnya dengn ringan. Dia mengaku tak punya beban dosa dengan masyarakat. “Saya memang lama tak pulang, sebab sudah punya kehidupan di sebrang, kini saya pulang karena sebatang kara di rantau” curhatnya. “Istri saya saya sudah meninggal, kami tak punya anak” matanya berkaca, dengan setengah tetes air mata tergenang di pulupuk bawahnya.
Kini dikampung Ardo menetap di rumah reot peninggalan. Hidup sebatangkara dan sakit sakitan. Alat bantu dengar dikupingnya terlihat usang. Masih terlihat badannya yang kekar berotot. “Jinoe lon ka saket paru,” keluhnya. Kehidupannya kini di topang saudaranya. “Dang preh mate” kelakarnya.
Ada yang berbeda dengan Ardo sejak kembali ke gampong. Dia rajin beribadah dan sedikit kritis. Walau daya kritisnya sekedar umpatan kedai kopi. Dia pandai berlogika dengan keadaan yang menurutnya tak sesuai. Mulai masalah agama maupun masalah fonomena sosial.
Anak anak muda suka menggelitik dia dengan isu yang viral. Apalagi lagi kalau sudah kumpul di warung kopi. Atau bak peulanta mesjid. Walau kadang kritiknya memerahkan kuping. “Jameun aneuk miet saket seu uem ngon Patihah geu pruh ie le teungku gampong puleh; jinoe Yasin teyue beut bak ulama meutamah saket teuh,” salah satu kritiknya. Menurut dia pemuka agama sekarang tidak punya keberkahan ilmu lagi. ”Sabab agama kajeut barang meukat, jameun tuengku ikhlas geuh, jino mandum ngon amplop” ketusnya.
Kemarin ketika viral rumoh geudong. Ardo turut dicolek. Dia ditunjuk berita berita dan status medsos. Sambil bergumam diapun berpendapat. “Lage leumo kap situek dum, abeh situek jak meurot lom saboh sahoe,” tamsilnya. “Meu teu oh padoli, padahai cit mita viral sagai, sabe sabe teulat pajoh sira. Pakon jinoe ban maksud gop ka gabuek, barokon ho jih dum? Teungeut?,” hujatnya.
Aldo yang kesepian dan masih miskin. Perantauan tak membawanya dalam kemakmuran. Pulang membawa penyakit dan beban hidup. Hanya kini dia menjadi pemecah keheningan. Omelan dan gerutuannya menjadi penghangat kedai kupi Cek Lateh. Nyaris kehidupannya di habiskan di warung ini. Di rumah hanya saat tidur. Selebih di warung dan mesjid. Menjadi kawan bicara orang orang yang terpinggirkan. Di jauhi mereka mereka yang sedang dalam kekuasaan. “Lon hana roh saho hai, kon korban konflik, pue lom sebagai pejuang, pejabat pih tan meuturi, u langet han jab u bumoe han toe,” jelasnya.
Ketika selentingan sampai ke kupingnya. Ia pulang dan miskin untuk mengharap bantuan. Dengan sedikit emosi iapun menjawab. “Pue pasai lon harap bantuan pemerintah? Soe lon?? Hana pat dong sapat pih, bek kan bak pomarintah, meuseudeukah pih hantom soe bi, pue jameun nabi? Ureung gasien geubi bu bak peulanta mesjid, jinoe meuteuga teuga peuraya dan peumewah mesjid, jamaah tan, ureung gasien meusipreuk jak geumade bak jalan dan lam pasai,” kritiknya
Daya kritisnya memberi kesadaran. Bahwa banyak hal tak berada di atas rel normal. Semua di buat hal hal bengkok terlihat normal. Perjalanan hidup mengajarkan Ardo menembus logikanya. Dan daya kritisnya berbuah “kupi pre”. Nyaris selalu ada yang membayar makan minumnya. Bagi Cek Lateh dia menjadi daya magnet bagi warungnya. Sekali kali Ardo membantu di warungnya. Sekedar membuang sampah. Atau membersihkan meja. “Asai pre dilon meurangkaban jeut, laen pih tan,” kelakarnya sore tadi.
Interaksi hari hari membuat Ardo jadi magnet baru di gampong. Baik sekedar bahan ulok ulok atau sebagai penyuara kritik. Dia dengan alam pikir serba berbeda dan tak takut beruneg uneg. Aldo yang sepi di tepi kematian. Sikap pasrah tentang hidupnya. Ibadahnya yang tanpa dibuat buat. Tak pernah ingin menonjol. “Kupike keu mate yang ka teunte, pulang pike bak gata gata soal nanggroe dan donya, lon cit sibeureukah gulam, ileume donya hana,ileume akhirat meu wèe hana meuho bungkok,” tandasnya sambil menenggak kupi phet Apa Lateh.[]