Oleh: Tuanku Warul Waliddin*
Tepat 22 April 2023 atau 1. Syawal 1444 H , tak terasa Kota Bandar Aceh Darussalam telah genap berusia 818 Tahun. Dimana pada Jumat, 22 April 1205 bertepatan dengan 1 Ramadhan 605 H, atas inisiatif Sultan Alauddin Djohansyah kota ini dibangun di pesisir Kuala Aceh yang menghadap pintu Gerbang Selat Malaka yang hari ini berlokasi di Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh.
Modal Geografis
Secara Geografis sepanjang pantai kota Bandar Aceh adalah kawasan pintu gerbang masuknya peradaban dari berbagai penjuru arah dunia ke ujung daratan pulau Sumatera. Tercatat beberapa pelaut handal dari belahan dunia baik dari barat maupun timur pernah berlabuh di titik koordinat kota ini. Dari para pedagang, pendakwah/ cendikiawan hingga pengembara yang mencari dunia baru di timur jauh pernah singgah di kota ini dan mengabdikan dirinya untuk kemajuan peradaban Kesultanannya Aceh Darussalam pada masanya.
Para pelancong asing yang pemah berkunjung di ibu kota sebelum era Perang Aceh, seperti Sir James Lancaster pada tahun 1601 M, Laksamana Beaulieu pada tahun 1620-1 M, atau John Anderson pada tahun 1820-an M, secara tegas mengatakan bahwa sungai berfungsi sebagai jalur utama untuk memasuki kota, walaupun muaranya sedikit agak dangkal dan medannya sulit. Muaranya berawa-rawa, sedangkan ibu kota terletak pada suatu dataran rendah dengan tanah yang subur sekelilingnya dan dilingkari oleh perbukitan.
Posisi geografi Banda Aceh yang terletak pada ujung utara pulau Sumatera dengan sebuah teluk memungkinkan kapal-kapal niaga  keluar masuk ke jurusan Birma, Benggala atau Srilangka, Kalikut, Malaka, dan pantai barat Sumatera. Kondisi ini memberi keuntungan kepada kota Banda Aceh dan daerah sekitamya dalam kontak perniagaan timur-barat semenjak dahulu kala.
Secara geografis posisi Banda Aceh sebagai pintu gerbang Selat Malaka telah menjadikan kota pelabuhan ini menjadi pusat pertukaran informasi, ilmu, dan budaya. Maka tak heran warga kota ini sejak dahulu telah sangat mudah bergaul dan hidup dalam keberagaman. Sehingga toleransi sebagai simbol keberagaman telah melebur dalam kegiatan sehari-hari warga ibu kota ini. Ditandai dengan ditemukannya koin emas di bekas kota tua Gampong Pande, dimana berbagai koin emas selain berasal dari kesultanan Aceh hingga ada koin dari Turki Utsmani.
Di tahun 2013 orang bahkan menemukan seguci koin emas Ottoman dan Venesia. Lalu juga keramik China dari masa Dinasti Ming (abad ke 16-17), Vietnam dan Thailand. Bukti ini tentu saja menandakan bagaimana sangat pentingnya keberadaan kota ini sebagai pusat kegiatan peradaban manusia yang sudah sangat heterogen.
Ada banyak bangsa pernah singgah dan berlabuh di kota ini. Tidak sedikit yang akhirnya menetap dan hidup turun temurun berketurunan menjadi orang Aceh dan tokoh penting di Kesultanan Aceh. Hingga dalam Pemerintahan Kesultanan Aceh yang menjalankan Islam berdasarkan pada Mazhab Syafi’i tetap menghormati pengikut ulama 3 Mazhab lainnya yang berbeda Mazhab untuk menjalankan Islam di Aceh sebagaimana di sebutkan dalam Qanun Meukuta Alam.
Ini tentu saja menunjukkan tingkat kemajuan dalam berfikir di masa itu untuk tidak mempersoalkan berbagai perbedaan dan saling menghormati. Sebagai kota yang diisi oleh orang-orang cerdas dan berpengetahuan tinggi hampir tidak ada konflik yang terjadi di kota ini antar sesama warganya. Sebagaimana di tulis oleh Van Langen, bahwa Sultan Aceh sendiri yang memimpin 5Â Gampong di dalam Ibukota Kesultanan, yaitu Gampong Jawa, Gampong Pande, Gampong Pelanggahan, Gampong Kedah dan Gampong Merduati, sehingga kelima Gampong ini disebut sebagai Gampong Sultan.
Dan dapat dilihat hari ini posisi ke lima gampong ini hingga hari ini masih berada dalam pusat aktivitas ekonomi di Banda Aceh. Meskipun beberapa gampong berubah menjadi tempat pembuangan akhir sampah kota Banda Aceh dan lebih sadisnya menjadi pusat Instalasi Pengolahan Limbah Tinja.
Banda Aceh Hari Ini
Dengan kondisi bentangan alam yang sangat eksotis di ujung selat Malaka, dibelah oleh sungai yang bersih, Banda Aceh harusnya bukan sekedar ibu kota salah satu provinsi di Indonesia. Mengingat usianya yang hampir seribu tahun harusnya kota ini bukan kota biasa-biasa saja. Roda ekonomi yang diharapkan tumbuh pesat dirasa hanya begitu-begitu saja. Bahkan Siapapun yang menjadi walikota di Banda Aceh hanya mampu mengeluh sembari mengucapkan “Hana peng Banda Aceh….” alias tidak ada uang kota Banda Aceh ini.
Ini tentu saja bertolak belakang dengan apa yang sudah pernah terjadi sepanjang 818 tahun silam hingga hari ini. Selayaknya nahkoda yang ingin membawa kapalnya menuju laut lepas, dan bersiap dengan berbagai gelombang dan angin laut, haruslah memiliki pemahaman yang mendetail setiap bagian dari kapalnya. Dimana letak mesinnya, dimana posisi kipas/ baling-baling mesin hingga mengenal betul siapa yang bertugas menjaga lambung kapal untuk memantau bila-bila ada kebocoran, hingga memahami arah jarum kompas yang tersedia.
Inilah yang terjadi di Banda Aceh hingga hari ini tanpa mampu bergerak maju ke arah yang sesuai dengan usia nya. Atau jangan-jangan Banda Aceh ini hanyalah kapal tua yang nyaris karam ditengah samudera. Persoalan air bersih masih belum teratasi, di bawah Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Daroy, padahal judulnya perusahaan air minum, bahkan untuk mandi saja kita enggan melihat warnanya.
Belum lagi persoalan pedestrian yang masih penuh debu di mana-mana. Sebagai kota tua yang modern harusnya Banda Aceh sudah menjadi ikon kota simbol peradaban di Nusantara. Kunjungan turis lokal dan mancanegara untuk menikmati kota tua penuh cerita ini tidak menjadi visi dari pemerintah kota ini kini, merevitalisasi peninggalan tua sebagai aset pun tak pernah terfikrikan oleh pengambil kebijakan. Kalau bisa gedung tua dihancurkan, buat gedung baru. Alih-alih nanti anggaran di batalkan, hingga dikorbankan berbagai cerita panjang 818 tahun tanpa jejak.
Visi wali kota Banda Aceh hampir saban hari menjual bahasa-bahasa politik “dalam bingkai syariah”, padahal orang luar dengar Aceh saja sudah disuruh jadi imam, tidak ada yang mengenal Aceh selain jati diri orang nya adalah Islam. Banda Aceh adalah ibukotanya orang-orang Islam dan warganya yang selain Islam sangat menghormati itu dengan merasa nyaman berada dan hidup di kota ini sudah cukup menunjukkan identitas warganya yang penuh toleransi. Tidak perlu dilabel labeli bingkai ini bingkai itu, cukup merujuk kepada cita-cita Pendirinya Sultan Alaidin Johansyah 1205. Menjadikan kota ini sebagai bandar ibu kota Aceh Darussalam yang penuh peradaban secara Penataan ruang kotanya dan pribadi warganya, hingga siapapun yang berkunjung kesana membawa pulang 1000 cerita di usianya yang nyaris 1000 tahun. Selamat milad Bandar Aceh.
*Pangulee Komando Aneuk Muda Alam Peudeung (Komandan) Al Asyi, cicit dari Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah II