Pada 8 Januari 1947, Pasukan Meriam Nukum Sanany dan pasukan Batalyon Istimewa Divisi Rencong dari Aceh menggempur pasukan Sekutu/NICA di Front Medan Area.
Pasukan dari Aceh ini diberangkatkan untuk memperkuat barisan pertahanan di bagian Timur Aceh dan menghadapi serangan Belanda. Pasukan bersenjata lengkap ini dikerahkan untuk membantu pertahanan di sana, serta mencegah Sekutu/NICA masuk ke Aceh.
Selain dibekali dengan senjata ringan, pasukan Batalyon Istimewa Divisi Rencong juga dibekali dengan beberapa meriam, senjata penangkis serangan pantai, senjata penangkis serangan udara, mortal, bom, serta geranat.
Baca Juga: Pemerintah Pusat Bubarkan Residen Aceh
Di Sumatera Utara, pasukan ini ditempatkan di front Medan Barat di Kampung Lalang, berdampingan dengan pasukan meriam pimpinan Nukum Sanany. Belanda sendiri mengakui bahwa pertahanan pasukan di Kampung Lalang ini sangat kuat dan susah untuk dikalahkan, karena itu pula pasukan Belanda yang ingin bergerak ke barat untuk masuk ke Aceh selalu gagal.
Selain mengirim tentara ke Medan Area, di Aceh tepatnya di Bireuen juga dilakukan berbagai persiapan untuk menghadapi kemungkinan perang meletus di Aceh jika Belanda berhasil masuk.
Baca Juga: Nama Kutaraja Dikembalikan Jadi Banda Aceh
Organisai-organisasi perempuan di Banda Aceh juga membuka dapur umum dan menyiapkan logistik untuk memasok makanan bagi para pejuang yang bertempur di Front Medan Area.
Lebih jelas tentang itu bisa dibaca dalam buku Modal Perjuangan Kemerdekaan (1947-1948). Buku ini ditulis oleh sejarawan Aceh yang pelaku sejarah perjuangan kemerdekaan, Teuku Alibasjah Talsya diterbitkan oleh Lembaga Sejarah Aceh (LSA) pada tahun 1990 atas bantuan Menteri Koperasi Bustanil Arifin yang juga tokoh pejuang kemerdekaan di Aceh.[]