Pada 23 Desember 1948, para ulama Aceh mengeluarkan fatwa jihad untuk melawan militer Belanda dan menegaskan hukuman bagi mereka yang bekerja sama dengan Belanda.
Pasca pemindahan ibu kota dan pusat pemerintahan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari Bukittinggi, Sumatera Barat ke Kota Banda Aceh, setiap hari ada saja serangan meriam kapal-kapal perang Belanda dari luat ke daratan Aceh, serta gempuran roket dari pesawat-pesawat pengebom milik Belanda, tapi selalu mendapat perlawanan dari berbagai angkatan perang Aceh.
Aceh menjadi beteng terakhir Republik Indonesia setelah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta bersama para pejabat tinggi negara ditawan Belanda. Menyadari hal itu, dalam suasana genting akibat perang, untuk menghadapi dan mencegah masuknya militer Belada ke Aceh, pada 23 Desember 1948, para ulama Aceh mengelurkan fatwa tentang wajib jihad, dan hukuman bagi mereka yang bekerja sama dengan Belanda.
Baca Juga: Dewan Pertahanan Daerah Aceh Hadapi Agresi Belanda
Isi fatwa ulama tersebut adalah sebagaimana ditulis oleh Staf Jawatan Penerangan TNI Divisi X Komandeman Sumatera, Letnan Kolonel Teuku Alibasjah Talsya dalam buku Modal Perjuangan Kemerdekaan halaman 469, seperti kutipan di bawah ini.
Berhubung dengan suasana penyerangan Belanda mulai tanggal 19 Desember 1948 sampai sekarang melanggar kehormatan negara, bangsa dan agama bangsa Indonesia umumnya, yang muslimin khususnya, maka memutuskan:
Pertama, memfatwakan bahwa perjuangan kita menghadapi agresi Belanda adalah kewajiban fisabilillah dari sekalian warga Republik Indonesia.
Kkedua, terhadap orang-orang yang membantu musuh dengan perkataan atau perbuatan, dianggap mengkhianati tanah air dan patut diambil tindakan atas dirinya, kemudian diserahkan kepada pemerintah dan hakim tentara.
Baca Juga: Pemerintah Berikan Abolisi Terhadap Pelaku Perang Cumbok
Pada hari yang sama, 23 Desember 1948, para ulama Aceh bersama para pemimpin gerakan perjuangan, melakukan pertemuan dengan Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Tituler Tengku Muhammad Daod Beureu’eh di Banda Aceh, membicarakan suasana genting yang meliputi seluruh tanah air akibat agresi Belanda.
Para ulama Aceh yang hadir dalam pertemuan itu antara lain: Teungku HA Hasballah, Teungku Lam U, Teungku Muhammad Amin Alue, Teungku H Hasan Kruengkale, Habib Kadju, Teungku Muhammad Saleh Lambhuk, Teungku H Djafar Lambirah, Teungku Muhammad Sufi, Teungku H Hamzah, serta beberapa ulama lainnya.
Di hadapan para ulama tersebut, Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Teungku Muhammad Daod Beureu’eh berpidato dan menegaskan tentang aksi-aksi yang akan dilakukan oleh militer dalam melawan serangan Belanda ke Aceh. Isi pidato tersbeut adalah seperti kutipan di bawah ini:
Baca Juga: Angkatan Laut Republik Indonesia Pindah ke Aceh
Teungku-Teungku dan pemimpin-pemimpin yang mulia.
Saat ini sudah sampai di puncak kegentingan. Belanda ingin menjajah kita kembali, serta memperkosa hak dan agama kita yang suci. Bermacam-macam akan dilakukan oleh Belanda untuk membujuk bangsa Indonesia, terutama mereka-mereka yang bersimpati kepadanya.
Belanda melakukan politik pecah belah, menghasut antara rakyat dengan rakyat, antara partai dengan partai, dan setelah itu barulah mereka melakukan agresinya, setelah kita leman di dalam.
Suasana dewasa ini, terutama antara kita dengan Pemerintah Pusat telah terputus perhubungan, terserahlah kepada kita sendiri untuk mengendalikan pemerintahan di daerah kita ini.
Baca Juga: Kisah Perang Cumbok di Sigli
Di seluruh daerah-daerah pendudukan Belanda telah timbul pemberontakan-pemberontakan, sedang dunia luar menaruh simpati kepada perjuangan kita. Oleh sebab itu kita serukan kepada dunia yang simpati kepada kita, agar mereka tidak saja membantu kita dengan moral, tetapi juga dengan material.
Pemerintah Belanda sendiri tidak punya kekuatan apa-apa di Indonesia, tetapi karena tipu muslihatnya, mereka dapat mempergunakan tentara sewaan terdiri dari bangsa kita sendiri. Dengan begitu, bangsa kita sendirilah yang mengkhianati bangsa dan tanah airnya dengan menjadi perkakaz kezaliman Belanda.
Kami sebagai pemimpin angkatan perang telah mengambil keputusan dan ketetapan untuk melawan musuh, dan meneruskan peperangan ini menghadapi Belanda, hingga kemenangan akhir tercapai. Tenaga kami akan kami serahkan sebesar-besar mungkin untuk membela negara.
Kami berharap kepada alim ulama dan pemimpin-pemimpin akan memberikan bantuan kepada kami, baik tenaga maupun pikiran. Seterusnya, kami berharap agar Teungku-Teungku menyampaikan pengharapan kami kepada saudara-saudara kami di kampung, agar mereka memberi bantuan kepada kami. Kami yakin, bahwa suara Teungku-Teungku itu dicintai dan diikuti oleh rakyat, karena Teungku-Teungku ibarat penunjuk jalan bagi mereka. [**]
Baca Juga: Sejarah Sekolah Kepolisian Aceh