Pada 2 Desember 1945, pasukan Uleebalang yang dikomandoi oleh Daod Cumbok mengepung Kota Sigli. Mereka ingin mendahului Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk melucuti senjata Jepang. Perang pecah menjadi cikal bakal perang Cumbok.
Teuku Alibasjah Talsya dalam buku Batu Karang di Tengah Lautan, menjelaskan, untuk memperkuat angkatan upaya kelompok Daod Cumbok itu dilakukan untuk memperkuat Barisan Penjaga Keamanan (BPK) sebagai pasukan Uleebalang.
Namun, gelagat pasukan uleebalang dengan BPK-nya itu diketahui TKR yang disokong rakyat dan ulama. Hal ini membuat suasana di Kota Sigli jadi genting, hingga terjadi bentrok antara gerakan rakyat dari TKR dan massa para pendukung uleebalang. Persoalan itu kemudian diketahui Jepang, mereka menyatakan tidak akan menyerahkan senjata ke pihak manapun.
Baca Juga: Poh An Tui dan Sentimen Anti Tionghoa di Aceh
Kota Sigli benar-benar mencekam, satu sisi dikuasi kelompok BPK, sisi lainnya oleh kelompok TKR. Mengetahui hal itu Komandan TKR Syamaun Gaharu berangkat dari Banda Aceh ke Sigli. Pada 4 Desember 1945 Syamaun Gaharu mencoba meredakan ketegangan, karena perselisihan antara kelompok uleebalang dengan barisan rakyat sudah berujung pada tembak menembak.
Syamaun Gaharu juga melakukan pertemuan dengan petinggi Jepang di Sigli. Pihak Jepang diwakili oleh Kentizi selaku Bo-etaitiyo Sigli dan beberapa opsirnya. Pertemuan berlangsung dalam suasana penuh saling curiga. Saat pembicaraan sedang berlangsung terjadi tembak menembak di pinggiran Kota Sigli antara kelompok barisan rakyat dengan kelompok uleebalang.
Akhirnya, setelah perundingan berlansung dengan sangat alot. Jepang yang tak ingin senjatanya dilucuti oleh barisan rakyat dan kelompok uleebalang, menyatakan hanya akan menyerahkan senjatanya kepada Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Baca Juga: Sejarah Sekolah Kepolisian Aceh
Untuk menghindari senjata-senjata itu jatuh ke tangan barisan rakyat dan kelompok uleebalang yang sedang berselisih, maka semua senjata Jepang tersebut akan diangkut ke Banda Aceh dengan menggunakan kereta api yang dikawal TKR. Keamanan tentara Jepang pindah dari Sigli ke Banda Aceh juga menjadi tanggung jawab TKR.
Saat senjata-senjata Jepang dinaikkan ke kereta api di Stasiun Sigli, tanpa diduga sekitar 2.000 orang bersenjata tajam dari kelompok uleebalang memasuki Kota Sigli. Dari kerumuman massa tersebut terdengar rentetan tembakan. Tembakan tersebut kemudian dibalas oleh massa dari barisan rakyat, suasana Kota Sigli jadi mencekam.
Perang frontal pertama antara kelompok barisan rakyat dengan kelompok uleebalang ini berlangsung selama dua hari dua malam. Syamaun Gaharu kemudian memerintahkan tentara TKR dari Banda Aceh untuk menuju Sigli, untuk mengendalikan suasana.
Baca Juga: Kisah Teungku Chik Abdul Jalil Melawan Jepang
Pada hari itu ketika datang juga ke Sigli Gubernur Sumatera Utara, MR Teuku Muhammad Hasan. Ia masuk ke Kota Sigli di bawah pengawalan tentara TKR dari Bireuen. MR Teuku Muhammad Hasan merupakan anak uleebalang Pinueng Sigli, lulusan Leiden Unversity, ia Gubernur Sumatera pertama, yang ditunjuk Presiden Soekarno sebagai Komisaris Negara Republik Indonesia.
MR Teuku Muhammad Hasan menggelar pertemuan dengan wakil-wakil kedua belah pihak untuk menghentikan perang saudara tersebut. Perundingan itu menghasikan kesepakatan: Senjata-senjata Jepang hanya boleh diserahkan kepada Residen Aceh selaku pemerintah yang sah di Aceh. Tanggung jawab keamanan di Kota Sigli tetap berada di tangan pemerintah, TKR dan alat-alat resmi lainnya. Pihak rakyat dan pihak uleebalang mengundurkan diri meninggalkan kota Sigli, kembali ke tempat masing-masing. Jika terjadi insiden saat pengunduran diri, pimpina pihak masing-masing harus bertanggung jawab.[]
Baca Juga: Cut Nyak Dhien Diasingkan ke Sumedang