Teungku Abdul Jalil, seorang ulama muda dari Buloh Blang Ara, Aceh Utara, menggerakkan pemberontakan terhadap Jepang. Dikenal dalam sejarah sebagai pemberontakan Cot Plieng.
Ali Hasymi dalam buku Semangat Merdeka: 70 Tahun Menempuh Jalan Pergolakan dan Perjuangan Kemerdekaan mengungkapkan, Teungku Abdul Jalil merupakan alumni Dayah Teungku Muhammad Amin Jumphoh di Pidie, kemudian melanjutkan pendidikan ke Dayah Krueng Kale salah satu pusat pendidikan Islam terkenal di Aceh Besar yang dipimpin oleh Teungku Hasan Krueng Kale.
Dari sana ia pindah ke Dayah Cot Plieng Bayu, Lhoksukon, Aceh Utara pimpinan Teungku Ahmad. Di sana Abdul Jalil menikah dengan Teungku Asiah, putri Teungku Ahmad. Ia kemudian menggantikan mertuanya memimpin Dayah Cot Plieng hingga digelar Teungku Syik.
Para guru Teungku Abdul Jalil di antaranya Teungku Muhammad Amin Jumphoh maupun Teungku Teungku Haji Krueng Kale dan Teungku Ahmad merupakan kelompok ulama non PUSA yang disebut sebagai “kaum tua” sementara ulama PUSA disebut “kaum muda”. Dengan latar belakang pendidikan di tiga ulama tersebut, membuat Teungku Abdul Jalil menjadi ulama muda yang sangat militan menentang pendudukan Jepang.
Baca Juga: Sejarah Sekolah Kepolisian Aceh Dibuka
Teungku Abdul Jalil tidak menyetujui kerja sama dengan Jepang, berbeda dengan ulama PUSA yang melakukan ‘taktik perjuangan” kerja sama untuk mengusir Belanda. Hal itu pula yang kemudian membuat perbedaan ijitihad antara kelompok tua dan kelompok muda dalam menghadapi Jepang.
Teungku Abdul Jalil dan kawan-kawannya secara diam-diam melakukan dakwah anti Jepang dan seruan jihad fi sabilillah dari desa ke desa. Menjelang akhir tahun 1942, dakwah diam-diam tersebut menjadi terang-terangan, setelah kekejaman tentara Jepang menjadi pengalaman pahit bagi masyarakat. Para santri di Dayah Cot Plieng sudah siap untuk berperang. Hal itu kemudian diketahui oleh intelijen dan kampetai Jepang.
Jepang berusaha meredam upaya pemberontakan Teungku Abdul Jalil tersebut dengan menggunakan orang Aceh yang bekerja untuk Jepang dan para Uleebalang yang telah diangkat menjadi Gunco (wedana) dan Sunco (camat).
Baca Juga: Poh An Tui dan Sentimen Anti Tionghoa di Aceh
Selain itu ulama PUSA/Pemuda Pusa juga diminta Jepang untuk melakukan dakwak tandingan. Meski tidak menolak permintaan Jepang tersebut, ulama PUSA/Pemuda PUSA lebih bersikap melihat saja apa yang dilakukan Teungku Chik Abdul Jalil.
Salah satu penolakan halus itu dilakukan oleh Ali Hasjmy dari koran Atjeh Simbun. Ia bersama Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH menolak tugas Jepang untuk pergi ke Bayu, Lhoksukon menghentikan gerakan Teungku Chik Abdul Jalil. Aly Hasjmy atas saran Dokter M Mahjoeddin menggosok bawang putih di tulang punggungnya hingga badannya deman. Dengan alasan mengindap “malaria” Ali Hasjmy berhasil menolak tugas ke Bayu tersebut.
Sementara kaum Uleebalang yang menjabat sebagai Gunco dan Sunco terus membujuk Teungku Chik Abdul Jalil agar mengurungkan niatnya memberontak terhadap Jepang. Namun hal itu tidak berhasil. Akhirnya Jepang memutuskan menghentikan upaya pemberontakan tersebut dengan kekuatan bersenjata.
Baca Juga: Les Hitam Rencana Pembunuhan 300 Tokoh Aceh
Pada 6 November 1942, Jepang mengirim pasukannya ke Bayu dan membangun kubu pertahanan yang berhadapan dengan Dayah Cot Plieng yang menjadi markas Teungku Chik Abdul Jalil. Pertempuran yang tak berimbang pun terjadi. Pasukan Teungku Abdul Jalil hanya bersenjatakan rencong, kelewang, lembing dan pedang, serta semangat fi sabilillah yang membara. Sementara pasukan Jepang memiliki persenjataan moderen.
Perang sengit yang digerakkan Teungku Chik Abdul Jalil dibantu oleh adiknya Teungku Thaib itu berlangsung sehari suntuk. Korban kedua belah pihak berjatuhan. Seorang perwira jepang berpangkat mayor ikut tewas. Pertempuran baru reda pada sore hari setelah Teungku Chik Abdul Jalil dan pasukannya meninggalkan Dayah Cot Plieng menuju pedalaman.
Dalam perjalanan Teungku Abdul Jalil singgah di Meunasah Baro. Dari sana ia dan pasukannya melanjutkan perjalanan hingga berhenti di Alue Badeeh untuk menyusun kekuatan sambil menunggu pasukan lain dari Bayu. Tiga hari kemudian, Jumat 9 November 1942, Teungku Abdul Jalil dan pasukannya kembali turun ke Meunasah Blang Buloh, sekitar sepuluh kilometer dari Bayu. Di daerah tersebut Teungku Abdul Jalil dan pasukannya melaksanakan shalat Jumat.
Baca Juga: Belanda Menangkap Cut Nyak Dhien
Keberadaan mereka diketahui oleh Jepang. Pasukan Jepang dengan tambahan tentara menyerbu ke desa tersebut. Jepang ingin menangkap Teungku Abdul Jalil tanpa pertempuran, yakni menunggunya di luar mesjid ketika ulama dan pasukannya tersebut sedang shalat Jumat bersama penduduk setempat.
Namun, ketika pasukan Jepang tiba ke Blang Buloh, Teungku Abdul Jalil dan pasukannya baru saja selesai melaksanakan shalat Jumat. Penangkapan itu pun gagal. Pertempuran sengit pun terjadi, Teungku Abdul Jalil dan pasukannya gugur.[]
Baca Juga: Piet Hein Ditembak Van Mook Mengaku Kalah di Aceh