Pada 6 Oktober 1945 di Banda Aceh berlangsung pertemuan antara petinggi Jepang dengan para tokoh Aceh. Pertemuan penuh ketegangan, Teuku Nyak Arief membentak Residen (Tyokan) Jepang, Syozaburo Iino hingga pistol di pinggangnya jatuh. Perwira Jepang ketakutan.
Meski sebagian besar kekuasaan Jepang telah dilucuti, namum Jepang tetap berusaha mempertahankan kekuasaanya di Aceh. Setiap hari ada saja penyerangan dan perampasan senjata milik Jepang, kantor-kantor pemerintahan Jepang di Banda juga sudah diambil alih.
Residen Jepang (Tyokan) di Aceh Syozaburo Iino didesak oleh Residen Aceh Teuku Nyak Arief pada 1 Oktober 1945 untuk menyerahkan kekuasaannya, awalnya menolak, meski senjatanya telah dilucuti oleh para pemuda pejuang Aceh.
Baca Juga: Kisah Remaja Aceh Membunuh Controleur Belanda
Penolakan penyerahan kekuasaan itu membuat sentimen anti Jepang semakin melebar. Baru pada 6 Oktober 1945, Jepang yang sudah semakin terdesak di Aceh, mengundang para pemimpin dan tokoh Aceh untuk menghentikan suasana genting dan sentiment anti Jepang tersebut.
Teuku Alibasjah Talsya dalam buku Batu Karang di Tengah Lautan menjelaskan, saat pertemuan dengan petinggi Jepang itu dari pihak Aceh hadir beberapa tokoh penggerak pergerakan, antara lain: Teuku Nyak Arief (Residen Aceh), Tuanku Mahmud (Ketua Komite Nasional Daerah Aceh), Tgk Muhammad Daod Beureueh (Ketua Persatuan Ulama Aceh dan anggota Komite Nasional Daerah Aceh), Teuku Tjut Hasan (Konsul Muhammadiyah Daerah Aceh), Teuku Achmad Djeunieb (Asisten Residen NRI Aceh Besar), Said Abubakar (Pemuda Pelopor), Ali Hasjmi (Ketua Barisan Pemuda Indonesia), Sjamaun Gaharu (Ketua Markas Daerah Angkatan Pemuda Indonesia).
Sementara dari pihak Jepang hadir antara lain: Syozaburo Iino (Atjeh Syu Tyokan), S Masubuty (Atjeh Syu Seityo Soumubutyo), Kepala Kepolisian Daerah (Keymubutyo), Komandan Tentara Jepang (Bo-eiTaityo)), Kepala Polisi Militer Jepang (Kanpentay-Tyo), dan T Eiri selaku penerjemah.
Baca Juga: Kempes dan Tragedi Pembantaian di Kuta Reh
Para petinggi Jepang mengundang tokoh-tokoh Aceh tersebut, setelah mengetahui telah dibentuknya berbagai laskar barisan perjuangan di Aceh, terutama tentang pembentukan pasukan bersenjata dan Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang telah menggelar rapat-rapat rahasia secara berpindah-pindah, salah satunya di Centraal Hotel Banda Aceh. Pasukan API yang dikomandoi oleh Syamaun Gaharu ini dipersenjatai dengan senjata-senjata rampasan dari Jepang.
Dalam pertemuan itu Syozaburo Iino selaku Tyokan mengakui bahwa Jepang telah kalah dalam perang Asia Timur Raya. Namun katanya, Pemerintah Pentadbiran Jepang masih bertanggung jawab dalam segala bidang, sampai nanti mereka menyerahkan kekuasaan kepada Sekutu/NICA. Sebelumnya, pada 25 Agustus 1945 pasukan Jepang di Sabang telah dilucuti Sekutu/NICA dan kekuasaannya di Pulau Weh tersebut telah diambil alih.
Baca Juga: Aceh Menyuplai Data dan Dana Diplomasi Luar Negeri Indonesia
Syozaburo Iino mengharapkan agar rakyat Aceh tidak lagi membuat gerakan-gerakan tanpa seizin Nipon (Jepang). Ia menilai pendirian pasukan API dan berbagai laskar perjuangan rakyat di Aceh sangat melanggar. Mendengar pernyataan Syzaburo Iino yang memelas tersebut, Sjamaun Gaharu selaku Ketua Markas Daerah API langsung menjawab.
“Indonesia sudah merdeka, telah mempunyai presiden, mempunyai gubernur dan mempunyai residen sendiri. Rakyat Indonesia patuh kepada presidennya, sama seperti patuhnya rakyat Jepang kepada Tenno Heika. Anda tidak berhak memerintahkan pembubaran API,” tegasnya.
Pernyataan Sjamaun Gaharu tersebut kemudian dipertegas lagi oleh Teku Nyak Arief. Sambil menunjuk muka Syzaburo Iino dengan suara tegas dan tangan gemetar karena geram Teuku Nyak Arief berkata.
“Saya heran pemerintah Jepang betul-betul satu pemerintahan yang tidak mau mengetahui keadaan. Apa yang tuan-tuan kerjaan selama berkuasa di sini. Apakah akan tuan-tuan kerjakan juga setelah tuan-tuan kalah?”
Baca Juga: UU Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh Lahir
Sanking marahnya Teuku Nyak Arief kepada para petinggi Jepang itu, ketika ia membentak mereka, tanpa disadari pistol yang terselip di pinggangnya jatuh ke lantai. Seisi ruangan jadi terdiam, mata mereka terbelalak. “Pertemuan ini sia-sia belaka,” kata Teuku Nyak Arief mengakhiri ucapannya.
Akhirnya pertemuan berakhir tanpa hasil. Jepang masih bersikukuh akan menyerahkan kekuasaannya kepada Sekutu/NICA ketika nanti Sekutu/NICA masuk ke Aceh. Hal yang tak pernah bisa dilakukan karena Aceh satu-satunya daerah di Indonesia yang tak pernah bisa dimasuki Sekutu/NICA dan Belanda pada agresi kedua, mereka hanya bercokol di Sabang saja tak berani masuk ke daratan Aceh. Jepang kemudian menggelar upacara resmi penurunan benderanya di Aceh tanpa kehadiran Sekutu/NICA.[]
Baca Juga: Knottenbelt Mata-mata Sekutu Masuk ke Aceh