24.9 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

5 Oktober 1949: Knottenbelt Mata Mata Sekutu Masuk ke Aceh

Pada 5 Oktober 1945 perwira Belanda yang bertugas di Komando Sekutu, Mayor MJ Knottenbelt tiba di Banda Aceh. Ia merintis jalannya masuk tentara Sekutu/NICA ke Aceh, tapi gagal.

Knottenbelt yang terjun dengan parasut dekat Medan pada tanggal 1 Oktober, setibanya di Banda Aceh lalu berusaha mendekati orang-orang bekas tentara KNIL dan pensiunan yang baru keluar dari tawanan Jepang.

Di Banda Aceh, wakil tentera Sekutu itu menyaksikan gerakan-gerakan revolusioner pemuda Indonesia yang melakukan berbagai tindakan, baik dengan cara terang-terangan maupun dengan cara diam-diam.

Baca Juga: UU Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh Lahir

Kehadirannya di kota ini yang semula diperkirakan cukup aman di bawah perlindungan tentera Jepang, ternyata sangat merisaukannya. Setiap malam, tempat tinggalnya di sebuah rumah besar yang mewah di pinggiran barat Biang Padang, selalu diganggu dengan ancaman-ancaman yang mengkhawatirkan.

Bahkan ketika ia ingin memperoleh sambutan lembut dari Kepala Pemerintahan Keresidenan Aceh, Teuku Nyak Arif, ternyata sia-sia belaka. Teuku Nyak Arif tidak bersedia berunding dengan Knottenbelt, karena, wewenang untuk itu berada dalam tangan Pemerintah Pusat Republik Indonesia, ujarnya.

Residen menegaskan bahwa tentera Sekutu tidak perlu datang ke Aceh, karena daerah ini aman dan tenteram. Untuk melucuti, kemudian mengirimkan tentera Jepang ke tempat kedudukan markas Sekutu di Medan, ia menyanggupinya.

Baca Juga: Kisah Aceh Menyuplai Data dan Dana Diplomasi Luar Negeri Indonesia

Katanya, tugas itu dapat dilakukan dengan baik oleh prajuritprajurit Indonesia dengan pimpinannya sendiri. Jika Sekutu berkeras datang juga ke daerah ini, kata Teuku Nyak Arif, keamanan dan hal-hal yang mungkin terjadi berada di luar tanggung jawabnya.  Sebagaimana ternyata kemudian, tentera Sekutu yang telah bersiap-siap di Medan untuk mengambil alih daerah ini dari Jepang, tidak pernah datang. Knottenbelt pun setelah beberapa hari berada di Banda Aceh, berangkat ke Medan kembali, bergabung dengan induk’ pasukannya.

Sasaran penyerangan tentera Belanda ke Aceh dilakukan terhadap basis-basis pertahanan, baik yang terletak di pedalaman terutama yang terdapat di pesisir. Banda Aceh sebagai pusat kegiatan berbagai gerakan dan pertahanan, merupakan sasaran paling utama dari angkatan udara dan angkatan laut Belanda.

Baca Juga: Kempes dan Tragedi Pembantaian di Kuta Reh

Hampir setiap hari, kota ini diserang ataupun sekurangkurangnya diganggu oleh provokasi-provokasi, seperti penyebaran pamflet dengan pesawat udara dan unjuk kekuatan angkatan laut dengan kapal-kapal perangnya.

Setiap serangan itu dibalas oleh barisan pertahanan yang dan sehari ke sehari perlengkapan persenjataannya semakin bertambah lengkap, baik yang didapati dari timbunan tempat-tempat disembunyikan Jepang, maupun perolehan baru dari luar negeri dan medan pertempuran Medan Area ataupun Sumatera Timur Area.

Di samping mempertahankan diri terhadap serangan itu pasukan-pasukan dari Aceh terus-menerus dikirim ke Medan ataupun tempat-tempat lain di Sumatera Timur (bahagian dari Propinsi Sumatera Utara sekarang). Di sana mereka berjuang di front Medan Area dan berbagai medan pertempuran yang hendak dicaplok musuh menghadapi tentera Belanda dan Poh An Tui yang bersenjata mutakhir.

Baca Juga: Kisah Remaja Aceh Membunuh Controleur Belanda

Panglima Tentera Republik Indonesia Komandemen Sumatera Mayor Jenderal R. Soehardjo Hardjowardojo, menumpahkan harapan besar kepada pasukan Aceh. Dalam sebuah telegramnya, Panglima meminta kepada pemimpin-pemimpin rakyat Aceh supaya mengalirkan terus kekuatan dari Aceh ke Medan dan jangan berhenti berjuang sebelum Medan dikuasai Republik Indonesia kembali.

Pada hari-hari selanjutnya, sebagian wilayah Sumatera Timur, berdasarkan keputusan Pemerintah Pusat digabungkan ke Aceh di bawah pimpinan Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Jenderal Mayor Tgk Muhammad Daud Beureueh. Pusat komando Gubernur Militer tersebut adalah Banda Aceh. Pada masa itu dari Banda Aceh diatur dan dikendalikan berbagai kegiatan pertahanan, pemerintahan, perdagangan, politik, sosial, hubungan dengan luar negeri dan lain-lain sebagainya.[]

Baca Juga: Sejarah Nasionalisasi Perusahaan Migas Asing di Indonesia

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS