Penguasa Sipil Belanda di Pidie Letnan Kolonel Scheepens dibunuh dalam rapat oleh Uleebalang Titue, akibat pengadilan yang dinilai tidak adil.
Penulis Belanda HC Zentgraaff menceritakan bahwa Scheepens merupakan seorang perwira yang sangat dikenal di Belanda. Ia pernah kembali ke Belanda dua kali untuk menjalani operasi medis akibat luka tembak yang dialaminya ketika operasi militer ke Gayo. Saat itu ia yang belum pulih betul diundang makan malam ke istana oleh Ratu Belanda.
Selain sebagai seorang komandan divisi, dia menjabat pula sebagai penguasa sipil di Sigli. Pada permulaan bulan Oktober 1913, telah datang berkunjung ke sana seorang wanita Amerika, yaitu Mrs Mary Smith Ware, yang tengah mengadakan perjalanan keliling dunia, dan ingin melihat bagaimana peri kehidupan khas bangsa Aceh; Scheepens merencanakan untuk keperluan ini.
Baca Juga: Kisah Amad Leupon Membunuh Kapten Marsose
Hari itu tanggal 10 Oktober 1913, dia pulang sebentar ke rumah saat menjelang tengah hari, dan harus kembali lagi ke musapat (landraad Aceh), untuk menyelesaikan suatu perkara yang tidak sedap. Seorang Aceh penduduk biasa, telah memukul putra dari uleebalang di Titeu, karena anak itu telah mengganggu harta benda atau istri orang kampung tersebut.
Scheepens akan mendamaikan kasus tersebut dan memutuskan hukumannya. Dalam sidang peradilan itu, uleebalang (anggota musapat) menuntut agar orang yang telah memukul anaknya dijatuhi hukuman yang berat, akan tetapi Scheepens menyadarkannya, bahwa hak kekuasaan semacam itu sudah berlalu, “Tiga bulan (hukuman) krakal sudah lebih dari cukup,” katanya.
“Itu saya tidak terima,” teriak uleebalang tersebut, berang karena perhitungan (hukuman) yang dikehendakinya terancam gagal, akan tetapi Scheepens mengakhirinya dengan berkata: “Tetap tiga bulan; habis!”. Mendadak sang uleebalang menghunus rencongnya dan menikamnya rusuk Scheepens. Suatu detik saat kegusaran dan bingung; kemudian beberapa orang polisi menyerang uleebalang itu hingga rubuh dengan kelewang mereka.
Baca Juga: Sekolah Penerbangan Lhoknga dan Kisah Pilot Aceh Generasi Pertama
Scheepens menyadari, bahwa suatu tikaman sebilah rencong pada perut, hampir selalu membawa kematian, namun karena sadar akan keadaan istrinya sekarang, ia berbuat seakan-akan tak ada yang luar biasa terjadi, untuk tidak membuat dia khawatir. Dengan tangan memegang luka di perutnya, ia berjalan pulang ke rumahnya dengan tenang saja. Hanya sedikit darah yang kelihatan. Dan kepada istrinya ia berkata: “Tidak apa-apa…hanya goresan kecil, marilah kita meneguk segelas champagne untuk keselamatan.”
Dibukalah sebotol anggur, dan minumlah Scheepens bersama sang istri, sedangkan Van Galen Last, teman akrab keluarga itu, ikut pula minum bersama mereka, akan tetapi, kedua pria itu sadar dan maklum bahwa hal itu adalah untuk pertaruhan hidup dan mati. Setelah itu berangkatlah Scheepens menuju rumah sakit; sementara itu ke Kutaraja dikirim berita telepon agar segera mengirim dokter Dubinsky, ahli bedah kenamaan, ke Sigli, dan untuk keperluan tersebut telah diberangkatkan sebuah kereta api express menuju Sigli.
Atjeh Tram itu, yang merayap di negeri Aceh di atas rel yang sangat sempit; orang memberi gelar kepadanya “kandang anjing beroda”, dan sukarlah membayangkan, kalau ia berjalan dengan kecepatan 30 kilometer sejam, tanpa terpeleset ke luar dari relnya, dan tercebur ke dalam sawah.
Baca Juga: Kisah Pasukan Cut Ali Menewaskan Kapten Paris
Tapi, pada hari tersebut, kereta api itu telah melakukan perjalanan yang memecahkan rekor, satu-satunya dalam riwayat sejarah Aceh. Masinisnya diikat dengan tali pada lokomotifnya, agar tidak terlempar ke luar. Begitulah ia bergerak dengan kecepatan tinggi, membawa dua orang dokter, meluncur di atas rel. Ketika kereta dan dokter itu tiba di Sigli, sore itu juga Scheepens dioperasi.
Seorang turis asal Amerika Serikat Mary Smith Ware, menyaksikan langsung kematian Scheepens saat dirawat di rumah sakit Sigli. Dalam kesaksiannya dalam buku, The Old World Though Old Eye; Three Years in Oriental Land, 1971, Amerika Serikat, ia menulis:
“Saya berlari ke rumah sakit tanpa persiapan sedikit pun, tanpa tutup kepala, bahkan tak membawa sapu tangan. Di ruang dalam saya berjumpa dengan beberapa orang opsir, dalam keadaan kesedihan yang mendalam, dan hampir-hampir tidak dapat berkata-kata. Kolonel (Scheepens) berada di dalam. Luka yang dialaminya amat dalam di bagian perut, di bawah hatinya. Salah telah mendengar salah seorang asisten menelpon Gubernur Swart, untuk datang dengan secepat mungkin dengan dokter ahli bedah dari Kutaraja berserta stafnya. Mereka telah datang dalam waktu kurang dari tiga jam dengan menumpang sebuah kereta api khusus. Sedang saya berdiri untuk menjenguk kolonel itu, datanglah seorang kapten memberitahukan, bahwa kolonel mengharapkan saya masuk ke dalam untuk berbicara dengannya. Saya melihat dia terbaring di atas meja operasi yang dialas dengan kain. Kuduk dan tangannya terbuka, kepalanya yang bagus dan matanya yang awas. Dia mulai dengan berkata, betapa menyesalnya dia tidak dapat lagi mendampingi saya, dan selanjutnya masih tetap akan diberikan bantuannya oleh kapten. Saya sangat terkesan dengan keberanian yang mengagumkan dari orang yang dalam keadaan seperti itu masih sempat memikirkan orang lain. Tak kuat saya menahan perasaan saya, dan terpaksa memalingkan muka untuk menyembunyikan air mata saya. Dia berkata bahwa ini yang kelima kalinya ia terluka.”
Baca Juga: Kisah Pocut di Biheue Melawan 18 Tentara Marsose
Setelah tiga hari menjalani perawatan, Scheepens meninggal dunia. Kisah Aceh moorden atau hamok Aceh ini membuat Belanda tak pernah merasa aman di Aceh. Hal ini sebagaimana ditulis oleh Paul Van ‘t Veer:
“Aceh adalah yang terakhir ditaklukkan Belanda, dan merupakan yang pertama terlepas dari kekuasaannya. Kepergian Belanda dari sana pada tahun 1942 adalah saat terakhir ia berada di bumi Aceh. Selama 69 tahun, Belanda tidak henti-hentinya bertempur di Aceh, dan ini sudah lebih dari cukup.”[]