Pada 27 Agustus 1945, setelah Jepang menyerah kalah pada Sekutu/NICA, pemuda-pemuda bekas opsir Gyugun di Aceh mengadakan rapat-rapat khusus, mempersiapkan pembentukan angkatan bersejata baru.
Rapat khusus para mantan tentara Gygun dilakukan di Centraal Hotel, Banda Aceh. mereka sepakat membentuk sebuah kesatuan bersenjata dengan nama Angkatan Pemuda Indonesia (API). API disiapkan menjadi pasukan yang akan mencegah Belanda masuk kembali ke Aceh. API mendapat sokongan khusus dari Teuku Nyak Arief yang kemudian menjadi Residen Aceh.
Usai pembentukan API, semua opsir Gyugun di Aceh dipanggil ke Banda Aceh untuk mempekuat API di berbagai daerah. Untuk pertama kalinya di Aceh pada saat itu, Teuku Nyak Arif memasang bendera merah putih empat persegi pada mobilnya. Tindakan itu dinilai sangat berani karena Jepang masih berkuasa di Aceh meski telah melakukan penyerahan kekuasaan kepada Sekutu di Sabang dua hari seelumnya, yakni 25 Agustus 1945.
Baca Juga: Kisah Sekutu Melucuti Jepang di Sabang
Namun pasukan Sekutu yang dimotori Inggris hanya bercokol di Pulau Weh, Sabang. Di sana juga dikibarkan bendera Sekutu berdampingan dengan bendera Belanda. Teuku Nyak Arief bersama pasukan bersenjata API yang baru dibentuk sepakat untuk tidak menerima kembalinya Belanda ke Aceh.
Malah dalam suatu kesempatan, ketika Sekutu mengirim Mayor Maarten Knottenbelt perwira Belanda dari Medan ke Banda Aceh, untuk menyiapkan masuknya Sekutu dan Belanda ke Aceh. Teuku Nyak Arief di hadapan Knottenbelt dengan tegas mengatakan menolak Belanda kembali ke Aceh. Knottenbelt akhirnya kembali ke Medan setelah diusir oleh rakyat Aceh. Tentang ini bisa dibaca dalam buku Mata Rantai Yang Hilang yang ditulis oleh M Nur El Ibrahimy. Serta dalam buku The Blood of the People yang ditulis Anthony Reid.
Teuku Nyak Arief tak mengubris larangan Jepang mengibarkan bendera merah putih. Meski Kepala Pemerintahan Jepang di Aceh (Aceh Syu Chokang) Syuzaburo Iino hanya membolehkan pengibaran bendera Hinomaru (bendera Jepang) pada kenderaan.
Baca Juga: Pemuda Revolusioner Membentuk IPI di Atjeh Sinbun
Teuku Alibasjah Talsya dalam buku Batu Karang di Tengah Lautan mengungkapkan, diamnya Jepang terhadap aksi Teuku Nyak Arief tersebut, karena mereka sudah mengetahui bahwa rakyat Aceh sudah membentuk pasukan bersenjata API yang akan siap melawan.
Teuku Nyak Arif kemudian melakukan komunikasi dengan Teuku Panglima Polem Muhammad Ali seorang pemimpin perjuangan pada masa penjajahan Belanda, yang getol melawan pendaratan Jepang di Aceh tiga tahun sebelumnya (Maret 1942).
Teuku Nyak Arief bersama Teuku Panglima Polem Muhammad Ali kemudian memanggil semua pejabat senior, tokoh masyarakat dan tokoh militer di Aceh, untuk membeicaraka kemungkinan kembalinya Belanda ke Aceh dan langkah-langkah yang akan dilakukan.
Rapat besar tersebut kemudian mengambil keputusan, mengucapkan ikral sumpah untuk mempertahankan Aceh dari upaya-upaya masuk kembali Belanda. Pengucapan sumpah dipimpin oleh seorang ulama bernama Teungku Syeh Muhammad Saman Siron. Orang pertama yang mengucapkan sumpah adalah Teuku Nyak Arif, kemudian disusul Teuku Panglima Polem Muhammad Ali dan para tokoh masyarakat dan pejabat senior Aceh lainnya.
Baca Juga: Radio Rimba Raya Dalam Balutan Sejarah
Mengetahui hal itu pemerintah Jepang di Aceh semakin tidak bisa berbuat banyak. Mereka membiarkan saja rapat-rapat khusus yang digelar pejuang kemerdekaan di Aceh, seolah-olah mereka tidak mengetahuinya.
Malah esoknya pada 28 Agustus 1945, Pemerintah Jepang juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika rakyat Aceh mengibarkan bendera merah putih di halaman kantor Tihoo Hooin yakni Kantor Pengadilan Jepang di Banda Aceh. Malah kantor Tihoo Hooin menjadi markas kedua tempat konsolidasi pasukan bersenjata API dilakukan, setelah markas pertama di kantor redaksi surat kabar Atjeh Sinbun.
Bila di redaksi Atjeh Sinbun gerakan rakyat dipelopori oleh Ali Hasjmy, Abdul Latif, Teuku Alibasjah Talsya dan beberapa orang lainnya, di kantor Tihoo Hooin dimotori oleh M Sahim Hasjimy, Ismail Muhammad Syah alias Ismuha, Sulaiman Arsyad, Abdullah Daud, Usman Ibrahim dan beberapa tokoh muda lainnya.
Melihat gelagat seperti itu, sehari kemudian yakni pada 29 Agustus 1945, Pemerintah Jepang mengangkut semua pejabat dan pasukannya dari berbagai daerah di Aceh menuju Medan, Sumatera Utara.[]
Baca Juga: Kematian Paling Romantis Dalam Perang Aceh