Pejuang Aceh menenggelamkan 45 marsose bersenjata lengkap di Krueng Sampoiniet di Aceh Utara. Seperti banyak kejadian penyergapan pasukan marsose lainnya. Peristiwa ini bermula dari perang mata-mata dan berita hoax yang memancing lawan untuk masuk perangkap. Siasat itu dirancang oleh Pang Nanggroe, karena kelicikan siasat dan taktik perangnya, Belanda menjuluki suami ketiga Cut Mutia itu dengan panggilan “Napoleon Aceh.”
Alkisah, sebagaimana diceritakan mantan serdadu Belanda di Aceh, HC Zentgraaff dalam buku Atjeh suatu malam pada 20 November 1902, Letnan PRD de Kok dan pasukannya singah di pasar Sampoiniet. Di sana mereka membahas rencana patroli dan jalur yang akan dipakai untuk menyergap pasukan Pang Nanggroe.
Dalam gelap malam itu, seorang mata-mata Pang Nanggroe menyelinap, mendengar detil setiap rencana itu. Malam itu juga berita tersebut sampai ke Pang Nanggroe. Tapi ia tak yakin dengan itu. Bisa saja itu hoax, mereka membicarakan siasat A, tapi kemudian melakukan tindakan B.
Baca Juga: Perangkap Aceh dan Kematian Tragis Komandan Marsose
Untuk memastikan itu, pagi-pagi sebelum Letnan de Kok dan pasukannya berangkat operasi, tersiar kabar bahwa pasukan Pang Nanggroe ada di seberang sungai Sampoiniet. Seperti Pang Nanggroe yang tak mudah percaya setiap informasi baru, begitu juga Letnan de Kok. Ia mengutus mata-matanya ke sana. Hasilnya, falid, kelompok pejuang Aceh memang terlihat lalu lalang di sana.
Berangkatlah Letnan de Kok bersama 45 marsose yang dipimpinnya itu. Namun, ketika sampai di sana, 21 November 1902, hari sudah gelap. Kelompok pejuang Aceh itu tidak tampak lagi. Beberapa penduduk memberitahu bahwa pasukan Pang Nanggroe sudah bergerak jauh melewati sungai itu.
Letnan de Kok yang sudah lama memburu Pang Nanggroe, tak ingin tangkapannya itu menghilang begitu saja. Ia akan membawa pasukannya ke seberang sungai untuk menangkap apa yang disebutnya sebagai “ikan besar” itu.
Baca Juga: Beragam Versi Alasan Pembelotan Teuku Umar
Empat orang penduduk diminta mendayung dua perahu ke seberang sungai di bawah todongan senjata. Letnan de Kok dan 45 marsose itu naik kedua perahu tersebut. Ia meminta lelaki pendayung perahu itu mempercepat laju perahu.
Namun, tiba-tiba dalam remang malam, satu tembakan terdengar. Lalu, “bruuuuk” keempat lelaki pendayung di kedua perahu itu menendang lantai perahu sekuat tenaga, sesuai kode tembakan tadi, kemudian terjun ke sungai. Perahu itu bocor. Mereka memanfaatkan kepanikan de Kok dan pasukanya itu untuk membalikkan kedua perahu itu. Secepat kilat mereka kemudian menghilang dalam air.
Bukanlah perkara mudah bagi keempat mereka menenggelamkan 45 marsose itu. Satu berbanding 11 begitulah perbandingannya. Ketika perahu itu sudah terbalik, pasukan Letnan de Kok yang panik ditembaki dari seberang sungai. Ternyata Pang Nanggroe dan pasukannya tidak meningalkan kawasan itu, sebagaimana informasi yang diterima Letnan Kok di seberang sungai, yang ternyata berita hoax sebagai pancingan. Dan keempat pendayung itu, merupakan orang-orang pilihan dari pasukan Pang Nanggroe, yang berhasil melaksanakan siasat itu dengan baik.
“Dengan isyarat tembakan dari seberang sungai, awak-awak perahu bangsa Aceh tersebut membalikkan perahu-perahu tadi, dan mereka meloloskan diri dengan berenang ke pinggir sungai. Seluruh anggota pasukan itu tenggelam di sungai, 42 senapan hilang, 28 orang marsose mati,” tulis Zentgraaff.
Baca Juga: Dendam Jongos Belanda Pada Teuku Umar
HC Zentrgraaff menilai peristiwa itu sebagai salah satu karya besar dari siasat perang Pang Naggroe. Dan masih banyak lagi serangan-serangan frontal yang dilakukan Pang Nanggroe dan pasukannya itu. Ia mencontohkan, seperti penyerangan terhadap patroli marsose sebelumnya, pada Juni 1902. Saat itu ia bersama Teungku Chik Di Tunong, suami kedua Cut Mutia menyergap sebuah datasemen pasukan infrantri Belanda yang dipimpin Van Steijn dan Parve di Meunasah Juroe, Simpang Ulim, Aceh Timur.
Dari keterangan mata-mata Teungku Chik Di Tunong diketahui bahwa 30 marsose kelompok Van Steijn akan melakukan pengawalan konvoi angkutan. Sampai di kawasan alang-alang Gampong Meunasah Juroe, konvoi itu diserang. Marsose jadi kucar-kacir dan melarikan diri, bersembunyi di semak-semak. Delapan marsose tewas, belasan luka-luka.
Sisa-sisa pasukan yang kocar-kacir itu coba dikumpulkan lagi oleh seorang serdadu Eropa bernama Fortier. Tapi semuanya sudah terlambat, sampai kemudian bantuan 40 tentara marsose pimpinan Van Geel Gildmeester tiba ke sana. Tapi pasukan Teungku Chik Di Tunong dan Pang Nanggroe sudah menghilang.
Begitulah Teungku Chik Di Tunong dan Pang Nanggroe saling membantu dalam peperangan. Malah, ketika Teungku Chik Di Tunong dieksekusi mati oleh Belanda pada 5 Maret 1905 di Pantai Lhokseumawe. Ia berwasiat kepada Cut Mutia, istrinya, agar menikah dengan Pang Nanggroe untuk melanjutkan perjuangannya.
Cut Mutia tak lama-lama berduka atas kematian Teungku Chik Di Tunong. Selepas masa idah, ia langsung menjalankan wasiat suami keduanya itu. Dan, ia siap melanjutkan perjuangan bersama suami ketiganya; Pang Nanggroe si Napoleon Aceh.[]
Baca Juga: Perang Aceh dan Kisah Kematian Calon Pengantin Belanda