Seorang Kapten Belanda menemukan kawanan buronan perang di rumahnya, menghisap cerutu miliknya, meminum minumannya, kemudian membungkung seolah menghinanya.
Menemukan kawanan pejuang Aceh di rumahnya itu bagai buah simalakama bagi sang kapten. Menangkap mereka sama saja bunuh diri. Melaporkan ke kesatuan, berarti membuka aib, bahwa musuh yang dicari-cari ternyata ada di rumahnya.
Redaktur surat kabar Java Bode, HC Zentgraaff dalam buku Atjeh mengungkapkan, kisah itu bermula ketika si kapten Belanda mengambil seorang perempuan Aceh sebagai concubine. Ia ingin memahami karakter dan adat istiadat orang Aceh melalui perempuan tersebut. Lebih dari itu ia berharap tidak mendapat masalah dalam menjalankan tugasnya. Tapi kenyataannya di situlah masalah sebenarnya. Perempuan Aceh ini menjalankan hubungan bermuka dua.
Baca Juga: Bireuen dan Kisah Konggres Batee Kureng DI/TII
Sebagai perempuan Aceh sifat aslinya tidak luntur. Ia menjadi penghubung rahasia dengan mata-mata pejuang Aceh yang banyak berkeliaran di sekitar tangsi militer Belanda. Malah ia mengundang para pejuang Aceh itu ke rumah si kapten.
Ketika si kapten pulang, ia melihat beberapa pejuang Aceh yang selama ini menjadi buronannya, sedang bercengkrama di taman teras belakang rumahnya. Berbulan-bulan ia memburunya, keluar masuk kampung dan hutan belantara, tapi mereka selalu lolos dari sergapan marsose. Kenyataannya, kini mereka dijumpainya di kota. Dan itu di rumahnya sendiri. Duduk di kursinya, meminum munumannya, dan menghisap cerutunya tanpa canggung.
Zentgraaff menulis, “Para lelaki Aceh ini membungkuk memberi hormat, seolah menghinanya. Tak mau reputasinya tercemar, si kapten membiarkan mereka makan di rumahnya. Ia terpaksa bersikap bonne mine a maivais jeu.”
Setelah kenyang, para pejuang Aceh itu pun meninggalkan rumah si kapten, sebelum berangkat mereka kembali membungkuk memberi hormat, seolah kembali menghinanya. “Kapten itu pun kemudian bersama pasukannya harus mengejar orang-orang Aceh itu berbulan-bulan dalam hutan belantara,” lanjut Zentgraaff.
Baca Juga: 17 Juli 1880 Belanda Kembali Menyerang Banteng Kuta Glee Batee Iliek
HC Zentgraaff juga menyinggung tentang wanita Aceh yang menolak suaminya, hanya karena ayah dari anak-anaknya itu menjadi kaki tangan Belanda. Mereka lebih memilih menjadi janda dari pada disebut sebagai istri cuak.
Seperti kejadian di Lhong pada tahun 1933. Kelompok yang berisi 13 pria di desa itu melakukan perlawanan kepada Belanda. Tapi, satu dari mereka kemudian menyerahkan diri. Istrinya kemudian marah besar. Ia menyebutnya sebagai pengecut. Akibatnya, si pria ini harus tidur di gubuk ladang.
Esoknya seorang marsose Belanda berpangkat kolonel datang menanyakan kepada perempuan itu, mengapa ia mengusir suaminya. Dengan tegas perempuan itu menjawab. “Saya tak punya suami, dia bukan laki-laki.”
Peristiwa yang sama juga terjadi di Desa Pulo Seunong, Tangse, Pidie. Seorang informan Belanda ditangkap dan disembelih. Pria itu diketahui sebagai mata-mata Belanda setelah didapati memiliki banyak uang, hadiah dari Kompeni. “Dalam setahun saja, tak kurang 20 informan kita disembelih gerilyawan Aceh itu. Tapi keluarga yang ditinggalkan tak pernah meratapinya,” tulis Zentgraaff.[]