Christian Snouck Hurgronje dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia mengkritik hobi memelihara kuda pejabat Kolonial Belanda di Aceh karena sebagian besar dana pemeliharaannya membebani kas daerah.
Penulis Belandan E Gobee dan C Adriaanse dalam buku Nasihat-Nasihat C Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, seri khusus jilid I-IX, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 1990 oleh Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) mengungkapkan berberapa surat Christian Snouck Hurgronje, baik surat resmi maupun surat rahasia yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda di Aceh.
Salah satu kritikan keras yang dilakukan Snouck adalah tentang pacuan kuda. Dalam suratnya Snouck mengungkapkan, seorang penguasa sipil Belanda di Gayo malah menyuruh membuat kandang yang sangat bagus untuk kuda pacu dengan menggunakan uang kas yang disebut sebagai “dana Aceh”. Padahal sejak keberangkatannya kandang itu kosong.
Baca Juga: Pesawat Seulawah RI 001 dan Kisah Jamuan Makan Soekarno
Snouck mengungkapkan, ada seorang penyayang kuda di antara para perwira Belanda yang berilusi tentang pemeliharaan kuda, pacuan kuda, dan sebagainya di Aceh. Perwira yang kemudian diangkat menjadi penguasa sipil itu mengajukan usul untuk membeli kuda, biaya pembeliannya dibebankan kepada beberapa uleebalang Aceh yang sudah berdamai dengan Belanda. Kuda-kuda itu ijadikan modal untuk membuka peternakan kuda di Aceh di bawah kekuasaan pimpinan Pemerintah Kolonial Belanda.
Usulan itu ditentang oleh Asisten Residen Belanda di Aceh Besar dengan banyak alasan, diantaranya, orang Aceh tidak menyukai pacuan kuda, andai ada yang memiliki kuda juga tidak memeliharanya dengan baik. Alasan lain, Aceh masih belum aman dari perang, mengupayakan perdamaian antara Pemerintah Kolonial Belanda dengan kelompok-kelompok pejuang Aceh jauh lebih penting ketimbang menghamburkan dana untuk lomba pacuan kuda.
Namun, perwira Belanda pecinta kuda itu, setelah beberapa lama akhirnya berhasil membujuk para pejabat yang sepaham dengannya untuk mendirikan perkumpulan pacuan kuda. Snouck Hurgronje dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tetap mengkritik hal tersebut. Alasannya, Aceh berbeda dengan daerah kolonial lain di nusantara, di Aceh tidak terdapat penduduk bangsa Eropa yang berada (elit), yang semestinya ikut menanggung biaya yang tinggi bagi perkumpulan tersebut.
Baca Juga: Jejak Atjeh Bioscoop Dalam Fragmen Sejarah
Lalu, para uleebalang yang muda-muda mulai menggunakan kuda-kuda sebagai alat pengangkutan melalui jalur yang telah dibangun oleh Belanda. Hal ini kemudian dijadikan sebagai alasan untuk menggelar lomba pacuan kuda. Maka dengan alasan yang dicari-cari pacuan kuda seolah-olah dianggap sebagai kebutuhan, karena semakin ramainya para uleebalang yang membiasakan diri berkuda dan mulai berminat terhadap pemeliharaan kuda.
Untuk memperoleh dana untuk rencana lomba pacuan kuda tersebut, para keluarga uleebalang yang ikut dalam perkumpulan berkuda ditekan untuk membeli kuda yang baik. Sementara untuk menarik perhatian masyarakat, saat pacuan kuda juga akan digelar pameran ternak dan permainan rakyat.
Para keluarga uleebalang dan kepala mukim yang didaftarkan menjadi anggota perkumpulan berkuda juga diwajibkan membayar iuran f.1 (satu gulden) setiap bulan, atau sebesar empat persen dari gaji bulanannya. Padahal kenyataannya di beberapa wilayah tidak terdapat uleebalang atau kepala mukim pecinta kuda.
Akhirnya banyak uleebalang dan kepala mukim yang mundur dari perkumpulan tersebut. Mereka yang sudah terlanjur membeli kuda juga meminta izin kepada kompeni untuk menjual kembali kuda-kuda mereka. Akibatnya, lapangan pacuan kuda beserta gedung dan bangunan pendukung lainnya tak bisa dibangun dari uang iuran anggota.
Baca Juga: Solidaritas Dunia di Taman Aceh Thanks to the World
Gubernur Sipil dan Militer Belanda di Aceh Jendral Van Heutsz akhirnya terbujuk untuk merealisasikan tujuan itu. Ia menggelontoran dana tunai sebesar f.5.000 (lima ribu gulden), dan akan menyertakan lagi dana sebanyak f.2.000 (dua ribu gulden) untuk even lomba pacuan kuda di setiap pertengahan tahun sebagai hadiah.
Tapi, karena arena pacuan kuda dibuat di atas tanah yang tidak sesuai, tidak bisa dipakai untuk perlombaan. Seorang kontrolir Belanda menghabiskan waktu berhari-hari untuk membuat lapangan pacu kuda yang baru. Mula-mula ia memakai tenaga para tahanan (simeurante) yang dibawa dari Jawa ke Aceh sebagai pekerja paksa. Tapi karena itu kemudian dilarang, ia mulai membujuk penduduk untuk mau bekerja dengan sedikit bayaran.
Kontrolir itu kemudian naik kapal api ke Sibolga untuk membeli kuda. Ia mengambil uang pesekot sebesar f.5.000 (lima ribu guldan) dari dana jalan. Sampai di Aceh kuda-kuda itu kemudian dijual kepada pengusaha Cina, para uleebalang dan kepala mukim, pembayarannya diangsur dari potongan gaji uleebalang dan kepala mukim itu setiap bulan. Tapi, kuda-kuda itu kemudian tak bisa digunakan untuk lomba, para uleebalang dan kepala mukim menggunakannya sebagai penarik gerobak untuk mengangkut hasil pertanian.
Meski demikian, para perwira Belanda dari kelompok pecinta kuda tetap berupaya agar lomba pacuan kuda bisa digelar. Untuk menyemarakkannya juga akan digelar pesta rakyat. Dana untuk pesta rakyat, setelah diadakan musyawarah antara pengurus perkumpulan pecinta kuda, akan diatur oleh para kepala kampung dan pejabat pribumi, kekurangannya kemudian dibebankan kepada sumbangan sukarela dari penduduk.
Baca Juga: Hutan Kota Tibang Objek Wisata Alternatif di Sudut Banda
Untuk lebih menarik perhatian, Penguasa Sipil Kolonial Belanda di Aceh juga mengadakan pameran ternak, memerintahkan dengan keras kepada penduduk untuk mengumpulkan semua kerbau dan sapi yang besar-besar. Ternak-ternak penduduk itu kemudian dipilih, dan ternak yang terpilih diharuskan dibawa ke arena pameran.
Malah kata Snouck Hurgronje, seorang perwira yang menjabat sebagai bendahara perkumpulan pacuan kuda tersebut menerima jasa f.50 (lima puluh gulden) sebulan. Ia menjadi salah seorang penganjur paling gigih terhadap lomba pacuan kuda tersebut.
Untuk mencari dana tambahan bagi pembangunan fasilitas pacuan kuda, perwira Belanda dari kelompok pecinta kuda meminta bantuan kepada seorang pengusaha Cina untuk mendirikan dan memelihara gedung-gedung dan fasilitas arena. Namun, meski sudah diupayakan dengan segala cara, dana untuk pacuan kuda dan pameran itu sama sekali tidak mencukupi.
Meski demikian pengusaha Cina itu dengan senang hati menyanggupi pengurusannya, tanpa mendapat bayaran selain izin untuk mendirikan los lapak judi yang besar di arena pacua kuda itu, yang digunakan tiga sampai lima kali dalam sehari, selama ronde pacuan kuda berlangsung dengan izin pemerintah. Pengusaha Cina itu bersama penyewa-penyewa lapak judi bawahannya mendapat laba yang besar dari izin judi itu.[]