Masjid Baiturrahman Kota Banda Aceh pada masa Kerajaan Aceh Darussalam merupakan pusat ilmu pendidikan di Asia Tenggara. Ada 17 cabang ajaran di masjid tersebut.
Sejarawan Aceh Prof Ali Hasjmy dalam buku Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, Jakarta, 1983, Penerbit Beuna, menjelaskan Masjid Raya Baiturrahman juga dijadikan sebagai pusat aktivitas dakwah dan pengkaderan ulama.
Beberapa cabang ilmu yang diajarkan di Masjid Raya Baiturrahman tempo dulu adalah: tafsir dan hadis, kedokteran, kimia, sejarah, eksata, ilmu politik, ilmu logika, filsafat, ilmu kalam/tauhid, ilmu pemerintahan), ilmu perbendaharaan negara, ilmu pertambangan, ilmu perbandingan mazhab, serta lmu Peperangan.
Dengan pengembangan berbagai cabang ilmu pendidikan di Masjid Raya Baiturrahman, bisa dikatakan perannya pada masa itu bukan hanya sebagai tempat pusat ibadah, tapi juga menjadi secaman universitas pada masa sekarang. Pengembangan berbagai cabang ilmu pendidikan itu pula yang pada masa itu menjadikan Kota Banda Aceh Darussalam terkenal di kawasan Asia Tenggara.
Baca Juga: Banda Aceh Kota Tamaddun
Pada masa jayanya kerajaan Aceh Darussalam terkenal banyak para mujahid, muballiq dan ulama besar yang namanya cukup harum dalam sejarah Kebudayaan Islam seperti: Syeh Hamzah Fansuri, Syeh Syamsuddin Sumatrani, Syeh Nuruddin Arraniry, Syeh Abdurrauf Assingkili (Tengku Syiah Kuala), Syeh Burhanuddin, Tengku Syik Di Tiro, Tengku Syik Pante Kulu dan sejumlah ulama besar lainnya.
Dalam membangun ummat para pemimpin dan ulama bekerja sama bahkan dengan hubungan yang sangat akrab sehingga tersohorlah pepatah: Adat Bak Pou Teumerehom, hukum bak syiah Ulama, Qanun bak putrow Phang, Reusam bak Laksemana. Yang kemudian dipertegas lagi dengan ungkapan hukom ngon adat lagee zat ngon sifeu, han jeut meupisah dua yang bermakna bahwa hukum dengan adat seperti zat dengan sifat yang tak bisa dipisahkan.
Baca Juga: Awal Mula Kota Banda Aceh
Pada masa itu dalam diri seorang umara terhimpun kekuatan jasmani dan rohani bahkan yang lebih mengagumkan lagi terhimpun pada diri seorang pemimpin, Sultan terhimpun ilmu ulama, sebaliknya pada diri seorang ulama juga terdapat kemampuan duniawi. Karenanya tidak jarang seorang ulama menjadi jenderal atau menteri yang menjadi imam atau khatib di mesjid.
Kader-kader yang seperti itulah yang dipenghujung abad ke-18 sudah mulai langka. Karena itu mulai rengganglah dua kekuatan ummat yang sangat potensial, yang dapat membawa kelumpuhan suatu bangsa. Gerakan dakwah mulai lemah yang akhirnya disapu oleh imperialisme Eropa yang membawa kelumpuhan untuk masa yang panjang.
Datangnya badai imperialisme Eropah yang melanda negeri-negeri Islam semula dengan tujuan mereka untuk berdagang mencari rempah-rempah dan ingin menguasai sumber-sumber ekonomi (monopoli perdagangan) mencari keuntungan materil yang besar dengan menguasai pusat-pusat perdagangan.
Baca Juga: Melihat Banda Aceh dari Titik Nol
Tetapi setelah adat mereka yang pertama tercapai tumbuh pula keinginan untuk merebut kekuasaan sosial politik guna dapat secara leluasa mengurus keuntungan dan kekayaan yang tersimpan di negerinegeri Timur. Dalam masa setengah abad akhir abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-18 hampir seluruh kerajaan Islam dapat dikuasai.
Dengan cara yang licik, semula mereka minta izin untuk dapat menetap di berbagai pesisir negeri Islam yang secara diam-diam mereka membangun benteng yang kuat, melalui bivak-bivak yang mereka bangun serangan demi serangan dilancarkan untuk menaklukkan kerajaan Islam di Nusantara satu demi satu.[]