BANDA ACEH | ACEH INFO – Belanda tidak menyangka memerangi Aceh tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Itulah yang membuat penguasa militer yang bertugas memimpin perang di Aceh didera amuk dendam tak berkesudahan.
Perang pertama orang-orang Belanda di Aceh, telah membuat Cornelis de Houtman tewas di ujung rencong seorang laksanama perempuan—di atas geladak kapal dalam duel satu lawan satu. Saat itu, negara Belanda belum berwujud dan kedatangan Cornelis de Houtman bersaudara dalam rangka melakukan kampanye memangkas pengaruh Portugis serta memonopoli jalur rempah.
Belanda yang kelak berhasil menjajah beberapa kerajaan di Nusantara melalui bendera Verenigde Oost Compagnie (VOC), belakangan menaruh dendam terhadap Aceh—sebuah kesultanan yang berkuasa penuh di Pulau Sumatra. Belanda kemudian mulai melakukan invasi ke wilayah-wilayah terluar Aceh hingga akhirnya menekan jantung ibu kota Aceh, Bandar Acheh Darussalam.
Perang yang dianggap bakal menjadi pamungkas dalam menggodam pengaruh Aceh di Selat Malaka, justru menjadi berlarut-larut. Belanda sempat kewalahan memukul Aceh yang bertahan dengan puluhan meriam, senapan angin dan juga senjata tajam lainnya. Ultimatum perang Komisaris Pemerintah Belanda Niewenhuijzen lewat kapal Citadel van Antwerpen terhadap Sultan Aceh Alaidin Mahmud Syah pada 26 Maret 1873, justru berbalas dengan kematian Jenderal Herman Rudolf (JHR) Kohler di Masjid Raya Baiturrahman beberapa hari sesudahnya.
Banyak perwira militer Belanda yang mati, belum lagi kritis dan terpaksa diboyong kembali ke Batavia, kian membuat Belanda naik darah. Alhasil, setelah Sultan Aceh Darussalam menyingkir ke Lambaro-Indrapuri, barulah kemudian Belanda berhasil menguasai Darud Donya (istana).
Setelah Darud Dunia berhasil direbut–setelah ditinggalkan Sultan Aceh, Belanda di bawah pimpinan Gubernur Van Swieten mendirikan kota baru di Banda Aceh. Upaya ini dilakukan untuk menghapus kegemilangan Kerajaan Aceh Darussalam dan ibukotanya Banda Aceh Darussalam.
Belanda yang benar-benar hendak menghapus kejayaan Aceh Darussalam juga menghancurkan tembok-tembok Darud Donya. Mereka juga mengubur makam Sultan Iskandar Muda dan mendirikan “istana” baru di atasnya yang kelak dikenal dengan sebutan pendopo.
Van Swieten juga mengganti nama Banda Aceh pada 16 Maret 1874 melalui proklamasinya yang berbunyi, “Bahwa Kerajaan Belanda dan Banda Aceh dinamainya dengan Kuta Raja yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal di Batavia dengan beslit bertanggal 16 Maret 1874. Semenjak saat itu resmilah Banda Aceh Darussalam dikebumikan dan di atas pusaranya ditegaskan Kuta Raja sebagai lambang dari kolonialisme.”
Kebijakan Van Swieten menuai kontroversi di kalangan tentara Belanda yang pernah bertugas. Mereka menganggap Van Swieten mencari muka pada Kerajaan Belanda karena berhasil menaklukkan pusat kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam. Mereka juga meragukan Van Swieten berhasil merebut Aceh pada saat itu yang kemudian dibuktikan dengan adanya perang gerilya oleh pasukan kerajaan Aceh dan ulama setempat.
Setelah Indonesia merdeka dan Aceh berada di dalam wilayahnya, nama Banda Aceh dipulihkan. Kuta Raja yang dilakap oleh Van Swieten diubah dengan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43.
Sejak itu, ibukota Aceh yang semula bernama Bandar Aceh Darussalam dan sempat berubah menjadi Kuta Raja di masa Belanda, kembali disebut dengan nama Banda Aceh.[]