Pada Maret 1988, Prof Dr Teuku Iskandar di Banda Aceh memaparkan sebuah dokumen dari India Office Library London. Dokumen itu merupakan naskah kepunyaan RT Farquhar bekas Letnan Gubernur Pulau Pinang.
Farquhar menerima naskah ini dari sahabatnya WE Philips, yang juga pernah menjadi pejabat Pulau Pinang pada 1805 hingga 1824. Naskah ini telah diterbitkan di Leiden, Belanda oleh GWJ Drewes dan P Voorhoevoe pada tahun 1958 dengan judul Adat Aceh. Naskah Adat Aceh ini menjadi salah satu sumber yang mengungkap tentang asal usul Kota Banda Aceh.
Sumber kedua yang disampaikan Teuku Iskandar adalah kitab Bustanus Salatin, yang berisi salah satu bagiannya menjelaskan tentang raja-raja Aceh, yang juga berkaitan dengan sejarah awal pembentukan Kota Banda Aceh. Hal yang sama juga dijelaskan dalam sumber ketika yang dipaparkan oleh Teuku Iskandar, yakni naskah Hikayat Aceh.
Dalam naskah Adat Aceh diceritakan tentang pemindahan ibu kota Kerajaan Aceh dari Kandang Aceh di Gampong Pande ke Darud Dunia komplek istana yang baru. Pemindahan ini juga erat kaitannya dengan asal mula Kota Banda Aceh. Pemindahan itu terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah, antara 4 Sya’ban 665 (12 Mei 1265) dan 12 Rabi-ul-awal 708 (30 Agustus 1308).
Baca Juga: Melihat Banda Aceh dari Titik Nol Hingga Masa Revolusi
Tentang perpindahan itu Teuku Iskandar dalam De Hikajat Atjeh yang merupakan penjelasan dari naskah Hikayat Aceh ke dalam bahasa Belanda, juga menulis:
 “De naam Atjeh is van zeer oude datum, zo niet greven oud dan toch niet veel jonger dan Lamri. Immers de eerste vorsten van Atjeh hebben zich te Kandang Atjeh gevestigd. Kandang is tegenwoordig een dorp op enige afstand van Kutaradja. Sultan Mahmud Sjah verplaatste na 43 jaren te Kandang Atjeh geregeerd te hebben, zijn zetel naar Dar ad Dunia. Dat dit Kandang Atjeh niet is opgemerkt door buitenlandse zeevaarders voor 1500, komt onzes inziens omdat het een onbeduidende plaats was, gelegen meer dan een mijl het binnenland in, op enige afstand van de zuidelijke oever van de Atjeh-rivier.
(Nama Aceh telah tua sekali, jika tidak sama tuanya toh tidak lebih muda dari pada Lamri. Sesungguhnya raja-raja Aceh pertama berkedudukan di Kandang. Kandang sekarang ini merupakan sebuah kampung dekat Kutaraja. Sultan Mahmud Syah memindahkan kedudukannya ke Daruldunia setelah 43 tahun berkedudukan di Kandang. Bahwa Kandang Aceh sukar diperhatikan oleh para pelaut luar negeri sebelum tahun 1500. Karenanya kita perkirakan sebuah tempat yang tidak mudah dilihat, letaknya satu mil dari tepi pantai, dekat tepi sungai Aceh sebelah selatan).
Baca Juga: Ie Bu Peudah Bubur Rempah Khas Ramadan Warisan Leluhur
Catatan lainnya tentang awal mula Banda Aceh pernah disampakan Ali Hasjmy dalam makalah Sultan Alaiddin Johan Syah Pendiri Banda Aceh Darussalam. Dalam makalah ini dijelaskan bahwa  Banda Aceh sebagai Ibukota Kerajaan Aceh Darussalam dibangun pada hari Jumat tanggal 1 Ramadlan 601 Hijriah. Kota Banda Aceh Darussalam dibangun oleh Sulthan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan Indra Purba yang beragama Hindu/Budha dengan Ibukotanya Bandar Lamuri. Istana Kerajaan Aceh Darussalam dibangun di Kampung Pande dikenal dengan nama Kandang Aceh. Pada masa pemerintahan Sulthan Mahmud Syah, cucunya Sultan Johan Syah, istananya dibangun yang baru di seberang Krueng Aceh, dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia.
Lalu ada Denys Lombard yang memaparkan keterangan dari sumber-sumber Eropa tentang Banda Aceh masa lampua. Ia mengutip keterangan Tom Pires (1513) yang pernah singgah di Aceh, sebelum masuk ke Banda Aceh ia harus melalui pulau-pulau yang disebutnya sebagai Pulau Gomes atau Ganispola, yakni pulau-pulau yang berada di hadapan pelabuhan Aceh. Tom Pires mengungkapkan pengalaman Graaf yang hampir kandas ketika mencoba masuk.
Hal yang sama juga dialami oleh Laksamana Prancis, Beaulieu ketika hendak mendarat di kota Banda Aceh. Ia memerlukan delapan hari sebelum bisa mendarat, padahal jaraknya hanya tinggal 4 mil dari tempat kapalnya berhenti dan menjatuhkan sauhnya untuk berapung. Ketika hendak masuk ke Banda Aceh melalui sungai, ia disambut oleh angin yang bertiup dari haluan sampai ia kehilangan sangkar.
Baca Juga: Kuah Eungkot Keureulieng Kuliner Para Raja
Denys Lombard juga mengutip catatan Davis yang mengungkapkan kehidupan di Banda Aceh pada abad ke-17 sebagai kota yang penuh gairah, yang luasnya sekitar 2 mil. Sumber Eropa lainnya adalah Dampier yang menyebut jumlah rumah penduduk kota Banda Aceh saat itu sekitar 7.000 hingga 8.000 unit. Davis juga mencatat bahwa di Banda Aceh pada masa itu terdapat tiga buah pasar besar untuk kegiatan transaksi jual-beli dan segala macam barang perdagangan.
David juga mencatat bahwa di Kota Banda Aceh kala itu terdapat perkampungan yang dikelompokkan pada tempat tinggal pedagang dan bangsa asing. Ada kampung Portugis, Gujarat, Arab, Benggali, Pegu, bahkan terdapat tempat para penyembah berhala seperti orang Hindu, mereka memiliki tempat peribadatan sendiri, kampung Cina dan Eropah malah berhimpitan. Pada umumnya rumah-rumah di Banda Aceh masa itu  terbuat dari kayu, bambu dengan atap alang-alang.
Tentang awal mula pendirian kota Banda Aceh juga ditulis oleh M Junus Djamil  bahwa 25 tahun setelah Maharaja Indra Sakti meninggal, pada Jumat sehari bulan Ramadhan tahun 601 Hijriah. Ummat Indra Purba/Indra Purwa mendirikan Pemerintahan Islam/Kerajaan Islam yang dinamai “Kerajaan Darussalam”. Raja yang pertama terpilih Meurah Johan dengan gelar Sulthan Alaiddin Johan Syah. Bandarnya dibuat di muara Krueng Aceh yang dinamai Bandar Darussalam.[]