Meski provinsi Aceh sudah diberikan hak istimewa sejak 26 Mei 1959, melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959. Tapi, undang-undang tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh baru lahir 40 tahun kemudian, tepatnya pada 4 Oktober 1999 melalui Undang-undang Nomor 44/1999.
Sebelumnya status Provinsi Aceh sebagai daerah istimewa hanya sebatas pengakuan pemerintah saja, tanpa ada landasan hukumnya. Pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie baru undang-undang tentang keistimewaan Aceh itu lahir.
Baca Juga: Kisah Aceh Menyuplai Data dan Dana Diplomasi Luar Negeri Indonesia
Sejarawan Aceh, Teuku Alibasjah Talsya dalam buku Sepuluh Tahun Daerah Istimewa Aceh, terbitan Pustaka Putroe Tjenden, Banda Aceh tahun 1969 menjelaskan, keistimewaan Aceh ditetapkan melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 tanggal 26 Mei diberikan oleh pemerintah pusat untuk mengisi wadah hak otonomi yang seluas-luasnya terutama dalam bidang keagamaan, pendidikan dan peradatan.
Inilah yang kemudian diperkuat oleh pemerintah Republik Indonesia pada masa kekuasaan Presiden BJ Habibie, menuangkan warisan Presiden Soekarno tersebut dalam bentuk undang-undang, sehingga penyelesaian konflik Aceh bisa dilaksanakan.
Baca Juga: Kempes dan Tragedi Pembantaian di Kuta Reh
Sejarah kemudian membuktikan, Undang-Undang Keistimewaan Aceh itu kemudian menjadi landasan bagi Presiden Indonesia selanjutnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meretas jalan damai Aceh. Pada masa Presiden Gus Dur UU Nomor 18/2001 disahkan, Aceh menjadi daerah otonomi dan nama Provinsi Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Kedua undang-undang tersebut, yakni Undang-Undang Nomor 44/1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang disahkan pada masa Presiden BJ Habibie dan UU Nomor 18/2001 tentang otonomi Aceh yang disahkan pasa masa Presiden Abdurrahman Wahid merupakan dua batu loncatan dalam penyelesaian konflik Aceh.[]