Pang Nanggroe merupakan suami ketiga Cut Meutia, ia menikah dengan srikandi Aceh itu setelah Teungku Chik Di Tunong suami kedua Cut Meutia syahid dieksekusi tembak oleh Belanda.
Pada 20 September 1910, pasukan Belanda yang dipimpin Van Slooten melakukan pengejaran terhadap Pang Nanggroe yang sedang berada di kawasan Paya Cicem. Dalam pertempuran itu Pang Nanggroe tertembak dari jarak 200 meter, sehingga akhirnya syahid.
Sebelum meninggal ia menyampaikan wasiat kepada anak tirinya, Teuku Raja Sabi untuk melarikan diri. “Plueng laju..jak seutot ma..lon ka mate, (lekas lari susul ibumu, saya akan meninggal)” Cut Meutia dan anaknya Teuku Raja Sabi selamat dari pertempuran tersebut.
Meski Pang Nanggroe telah syahid Cut Meutia tidak menyerah pada Belanda, ia terus menggelorakan perjuangan untuk terus melawan Belanda. Ia dan pasukannya begerak ke daerah Gayo untuk bergabung dengan pasukan Aceh di sana yang masih terus berperang melawan Belanda.
Baca Juga: Kisah Remaja Aceh Membunuh Controleur Belanda
Pernikahan Cut Meutia dengan Pang Nanggroe merupakan wasiat Teungku Chik Di Tunong. Sebelum dieksekusi oleh Belanda di pantai Lhokseumawe, Teungku Chik Di Tunong menyampaikan tiga wasiat pada Cut Meutia, salah satu wasiat itu adalah menikah dengan Pang Nanggroe teman setianya dalam perjuangan.
Ketika Cut Meutia menyampaikan wasiat itu, Pang Nanggroe sangat terkejut, sebagai pengikut setia Teuku Chik Di Tunong, ia sama sekali tak mengira akan menikah dengan janda panglimanya itu, selain itu ia tidaklah setara dengan Cut Meutia yang berasal dari keluarga uleebalang, karena ia hanya seorang tuha peut di gampong. Akan tetapi demi perjuangan dan keharusan menerima amanah, maka ia menerima amanah tersebut dan menikahi Cut Meutia.
Nasruddin Sulaiman dalam “Wanita-wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah” menjelaskan, Pang Nangroe merupakan penentang kompeni yang tangguh, cerdik, dan dilahirkan sebagai seorang gerilyawan. Karena itu perlawanan yang diberikan Cut Meutia lebih dahsyat dari yang pernah dilakukan bersama Teuku Chik Di Tunong.
Baca Juga: Kempes dan Tragedi Pembantaian di Kuta Reh
Cut Meutia kembali bergerilya bersama Pang Nanggroe, ulama dan para pengikutnya. Mereka memilih kubu pertahanan di hulu Krueng Jambo Aye yang pernah dibangun oleh ayahnya Cut Meutia, Teuku Ben Daud sebagai kubu pertahanan. Teuku Raja Sabi, anaknya dari perkawinan dengan Teuku Chik Di Tunong dibawa serta. Untuk keselamatannya beberapa orang pasukan dikerahkan sebagai pengawalnya. Karena cara demikian, selama bertahun-tahun tak seorangpun yang melihat anak itu.
Tentang figur Pang Nanggroe juga digambarkan oleh Zentgraaff. Dalam buku “Atjeh” ia menulis: “Sejak September 1905 Pang Nanggroe telah memulai suatu kegiatan yang luar biasa. Sebuah pasukan yang semula berada di bawah pimpinan Teuku Ben Pirak (saudara Cut Meutia) setelah ia syahid di tahun 1907, kini sepenuhnya berada di bawah pimpinannya. Pang Nanggroe bergerak bukan main dilakukan sangatlah tidak enak bagi kita (Belanda). Kesuksesannya yang pertama adalah penyergapan terhadap sebuah bivak pada 6 Mei 1907. Dengan kekuatan 20 orang pejuang, dia menyerang pasukan militer sehingga 2 militer tewas dan 4 luka-luka. Yang lebih merisaukan pihak kita (Belanda) ia berhasil merampas merampas 10 pucuk senjata beserta 750 butir peluru. Setiap peluru yang dirampas berarti taruhan jiwa bagi serdadu Belanda.”
Baca Juga: Kisah Pasukan Cut Ali Menewaskan Kapten Paris
Pang Nanggroe tidak hanya melakukan penyerangan di wilayah kekuasaannya saja, tapi sampai ke luar daerah Keuretoe, seperti yang dilakukan pada 15 Juni 1907. Ia bersama pasukannya melakukan penyerangan ke bivak Belanda di Keude Bawang, Idi dengan kekuatan 20 orang pasukan. Menurut Zentgraaff hal itu membuktikan bahwa Pang Naggroe bergerak sangat cepat. Pada penyerangan itu, satu orang tentara Belanda tewas dan delapan luka-luka serta satu pucuk senjata berhasil dirampas. Terhadap penyerangan itu Zetgraaff menulis:
“…Masa itu merupakan masa yang suram bagi kita (Belanda). Gerombola lawan (Pasukan Pang Nanggroe) demikian aktif melakukan serangan-serangan terutama di Lhokseumawe, Keureutoe, dan lebih jauh lagi, sehingga seluruh negeri berada dalam ketegangan. Kampung-kampung jadi lengang, sawah-sawah terbengkalai. Ratusan penduduk laki-laki turut bergerilya, yang menurut informasi resmi waktu itu kampung-kampung di Keureutoe, Lhoksukon, Pasai, sudah seiya sekata melakukan pemberontakan umum. Nampaknya hasil jerih payah kita (Belanda) bertempur 10 tahun musnah seluruhnya. Sebaliknya dewasa itu merupakan hari-hari kemenangan bagi Cut Meutia, yang tahu bahwa segenap daerah Keuretoe tidak aman lagi.”
Baca Juga: 19 September 1937 Pocut Meurah Intan Meninggal di Pengasingan
Masih menurut Zentgraaff, pemyerangan yang dilakukan Pang Nanggroe sangat bervariasi. Ia mampu merancang berbagai bentuk penyerangan mulai kerusuhan kecil sampai yang besar. Selama tiga bulan dalam tahun 1907, selain melakukan beberapa penyerangan yang berhasil di Lhoksukon, Panton Labu dan Idi, ia juga telah dua kali menyerang kereta api, lima kali penembakan kereta api, dua kali penyerangan bivak Lhoksukon, lima kali penyerangan terhadap patroli Belanda, 22 kali pengrusakan rel kereta api, 54 kali pengrusakan jaringan telepon.[]