Pada Jumat pagi 20 Juli 2001, enam juru runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditangkap oleh pihak kemanan Republik Indonesia (RI). Penangkapan dan penahanan para juru runding GAM ini memunculkan pro kontra, karena posisi mereka sebagai delegasi dari salah satu pihak di dalam perundingan.
Sebelumnya para juru runding kedua belah pihak telah mendapat jaminan dari masing-masing pihak. Ini dapat dilihat pada kesepakatan yang ditandatangani pada 1 dan 18 Juli 2001. Penangkapan ini merupakan bantu sandungan lainnya terhadap keanjutan proses dialog menuju perdamaian yang sedang diupayakan waktu itu.
Para juru runding GAM yang ditangkap itu adalah Tgk Muhammad Usman Lampoh Awe yang merupakan anggota Komite Bersama Konsultasi Demokrasi (KBKD), Tgk Nasruddin Bin Ahmed, Tgk Amni bin Ahmad Marzuki dan Tgk Amdy Hamdani dari KBMK. Kemudian T Kamaruzzaman SH dari elemen KBAK, sementara Sofyan Ibrahim Tiba SH yang juga anggota Komite Bersama Modalitas Keamanan (KBMK) GAM ditangkap beberapa hari kemudian di kediamannya di kawasan Jeulingke.
Baca Juga: 17 Juli 1880 Belanda Kembali Menyerang Benteng Kuta Glee Batee Iliek
Penangkapan itu sangat mempengaruhi jalannya perundingan. Padahal dalam proses perundingan itu kedua pihak baik RI dan GAM sepakat untuk menjamin kemanan pribadi mantan anggota KBAK dan KBMK.
Dari kelima juru runding GAM yang ditangkap tersebut hanya Amni bin Ahmad Marzuki yang berasal dari tentara aktif di kalangan militer GAM dari wilayah Pase. Ia sudah dilibatkan dalam perundingan sejak Mei 2000. Amni selalu menyebut dirinya sebagai warga negara Acheh Sumatera, bukan warga negara Indonesia. Bahkan saat ia menerima surat penggilan dari pengadilan untuk proses hukum, ia menolak surat itu dengan dalih surat itu bukan dituju untuk dirinya, meskipun nama yang tertulis di sana mirip dengan namanya.
Pengantar surat tentu saja bingung dan mencoba menjelaskan kembali bahwa tidak ada kesalahan dalam surat itu dan meyakinkannya bahwa surat itu memang ditujukan kepadanya dengan memperlihatkan kembali nama yang tertulis di sana. Amni beralasan bahwa bisa saja ada kesamaan namanya dengan orang lain. Dia berasumsi jika surat itu ditujukan kepadanya, maka pada bagian warga negara harus jelas tertulis ia sebagai warga negara Acheh Sumatera. Amni tidak menerima surat itu, sampai kemudian dikoreksi dengan menuliskan Acheh Sumatera sebagai kewarganegarannya. Dan ia kemudian menerima surat dan panggilan itu.
Baca Juga: 13 Juli 1880 Ekspedisi Van Der Heijden Ke Batee Iliek
Surat panggilan ini yang kemudian menjadi bahan “kampanye” Amni kepada koleganya. Ia mengatakan bahwa Aceh sudah merdeka. “Lihat saja surat ini distempel oleh siapa dan warga negara saya apa,” jelas Amni kepada orang-orang yang dikenalnya sebagai bahan candaan saja. Saat sidang perkara digelar di pengadilan, Amni juga melakukan hal yang sama. Ia beberapa kali interupsi saat hakim membaca nama dan kewarnga-negaraannya. Ia selalu menolak setiap majelis hakim menyebutnya sebagai warga negara Indonesia.
Setelah sebulan ditahan di sel Polda Aceh, pada 20 Agustus 2001 Presiden Megawati Soekarnoputri menyetujui enam juru runding GAM yang ditahan aparat keamanan dibebaskan. Menkopolkam yang saat itu dijabat Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan bahwa Megawati memberi catatan agar para juru runding GAM tersebut tidak melakukan pelanggaran hukum setelah dibebaskan. Presiden menyarankan agar perundingan harus diproteksi dan dihormati sebagai suatu proses, karena itu pemerintah mengambil keputusan untuk membebaskan juru runding GAM setelah memenuhi ketentuan yang diminta oleh pihak kepolisian.[]