Pada 17 Juli 1880, Belanda kembali menyerang Kuta Gle. Dalam serbuan kedua ini rupanya Raja Samalang Teuku Chik Bugis minta disertakan bersama dalam pasukan Belanda, dengan tujuan untuk menyesatkan arah pasukan Belanda hingga terjebak dengan pasukan Aceh dalam jumlah yang sangat besar.
Strategi Teuku Chik Bugis lagi-lagi membuat serangan Belanda ke Kuta Gle Batee Iliek menjadi konyol. Belanda harus buru-buru mundur dan banyak sekali tentaranya yang tewas akibat dikibuli Teuku Chik Bugis. Hari itu juga Chik Bugis ditangkap oleh Belanda dan dibawa ke Banda Aceh. Namun begitu, benteng Kuta Gle Batee Iliek tetap berdiri kokoh dengan kekuatan pasukan Aceh yang sangat ditakuti Belanda.
Baca Juga: 13 Juli 1880 Ekspedisi Van Der Heijden ke Batee Iliek
Benteng Kuta Gle Batee Iliek, tak pernah direbut. Itu sebabnya Paul Van ‘T Veer menyebut Batee Iliek sebagai kampung kramat yang sangat sulit dihadapi oleh Belanda. Bidikan tembakan-tembakan marsose, ditangkis hebat para ulama yang sangat lancar membuat serangan perang terhadap Belanda. Ia menyebutnya selancar mereka membaca ayat-ayat Alquran.
Setelah 30 tahun lebih Benteng Kuta Gle Batee Iliek bertahan dari serangan-serangan besar Belanda, pada 4 Februari 1901 Jenderal Van Heutsz memimpin ekspedisi barunya ke Batee Iliek, tapi Van Heutsz baru berhasil menaklukkan benteng Kuta Gle Batee Iliek pada tahun 1904, setelah tiga tahun melakukan peperangan melawan pejuang Aceh.
Kehebatan pejuang-pejuang Aceh dalam perang melawan Belanda, terutama dalam kelihaian memainan kelewang, pedang panjang khas Aceh yang menyerupai pedang Turki. Tebasan kelewang pejuang Aceh sangat ditakuti oleh pasukan Belanda. Mereka menyebutnya sebagai eerster houw atau bacokan pertama di bagian lengan lawan, kemudian disusul houw bovenop tebasan puncak dari leher membelah rongga dada.
Baca Juga: 30 Juni 1880 Pasukan Van Woortman Menyerang Batee Iliek
Penulis Belanda lainnya, A. Doup secara gamblang menyampaikan pujiannya dan kekaguman pihak Belanda terhadap daya tahan dan kehebatan rakyat Aceh dalam berperang. Ia menulis:
“Kepahlawaan orang Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan bumi persadanya seperti yang diperagakan selama perang Aceh, menimbulkan rasa hormat di pihak marsose, serta kekaguman akan keberanian, kerelaan gugur di medan tempur, pengorbanannya dan daya tahannya yang tinggi. Orang Aceh tidak habis-habis akalnya dalam menciptakan dan melaksanakan siasat yang sejati, sementara daya pengamatanya sangat tajam. Ia mengamat-amati setiap gerak pemimpin brigade dan ia tahu benar yang mana melakukan patroli dengan ceroboh, serta yang mana pula yang siap siaga dan berbaris teratur.”
Karena itu pula GB Hooyer dalam bukunya, De Krijgsgeschiedenis van Nederlandsc-Indie van 1811 tot 1894, G Kolff & Co Batavia, 1897 menyatakan bahwa perang Aceh senantiasa akan menjadi sumber pelajaran bagi tentara Belanda. Begitu juga dengan Pierre Heijboer dalam buku Klewangs, Klamboe, Klapperbomen, 1977, Uniboek, Bussum yang menegaskan tentang kehebatan Aceh dalam menghadapi Belanda, bukan saja karena dorongan kuat keyakinan terhadap ajaran agama Islam (perang sabil), tapi juga orang Aceh tergolong pembangun benteng pertahanan yang ulung.[]
Baca Juga: Bireuen dan Kisah Konggres Batee Kureng