Pada 13 Juli 1880, Van Der Heijden kembali mengirimkan ekspedisinya secara besar-besaran ke Samalanga untuk menyerang Banteng Kuta Gle di Batee Iliek.
Dalam ekspedisi ke Samalanga itu Belanda mengerahkan pasukan dalam jumlah banyak, terdiri dari satu kompi pasukan asli Belanda, 1 kompi inlander (tentara pribumi) dari Batalion 14 dan 1 kompi Ambon dari Batalion 3, serta 1 kompi garnizun dari Batalion campuran.
Mereka juga diperkuat 32 perwira dengan 1.200 tentara marsose. Semua pasukan itu diberangkatkan ke Samalanga. Dalam ekspedisi ini juga turut serta Panglima Tibang, bekas pembesar Sultan Aceh yang menyeleweng dengan Teuku Nyak Leman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan bagi Belanda.
Beberapa kali Belanda melakukan serbuan menaklukkan Bneteng Kuta Gle Batee Iliek tidak berhasil. Belanda terpaksa memundurkan pasukannya ke Cot Meurak. Di sini sambil mereka istirahat dan menyusun strategi penyerangan kedua ke Kuta Gle, Belanda juga harus menguburkan mayat-mayat serdadu mereka.
Baca Juga: 30 Juni 1880 Pasukan Van Woortman Menyerang Batee Iliek
Benteng Kuta Gle berada di sisi timur jembatan Batee Iliek, Kabupaten Bireuen. Benteng ini baru mampu ditaklukkan oleh Belanda setelah 23 tahun gagal melakukannya. Keberhasilan Belanda merebut benteng itu pada 1901 akibat pengkhiatan seorang cuak yang membawa pasukan Belanda melalui jalan tikus untuk naik ke benteng tersebut.
Ada dua tugu yang dibangun di benteng tersebut, satu dinamai Van Heutsz Bank (Bangku Van Heutsz) dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk mengenang jasa Jendral Van Heutsz atas keberhasilannya pasukannya merebut benteng Kuta Glee dari pejuang Aceh. Satu lagi tugu yang dibangun oleh Pemerintah Republik Indonesia, untuk mengenang para syuhada yang syahid dalam pertempuran di Benteng Kuta Gle melawan pasukan Belanda.[]
