25.4 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

1 Januari 1949 : Pemerintah Pusat Bubarkan Residen Aceh

Pada 1 Januari 1949, Residen Aceh dibubarkan dan dileburkan menjadi bagian Provinsi Sumatera Utara. Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara dijalankan di Banda Aceh.

Pada 1 Januari 1949, Residen Aceh mengumumkan bahwa pemerintah pusat telah membubarkan Residen Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Aceh. Hal ini dilakukan setelah Residen Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli disatukan dalam Provinsi Sumatera Utara.

Pembubaran itu juga dilakukan setelah pemerintah berhasil membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara, yang diresmikan pada 13 September 1948, setelah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara menggelar sidang di Tapaktuan, Aceh Selatan. Sidang pembentukan tersebut dihadiri oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara dari Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli.

Baca Juga: Pemerintah Berikan Abolisi Terhadap Pelaku Perang Cumbok

Berkaitan dengan hal tersebut, masih pada 1 Januari 1949, Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Aceh, menyerahkan jabatan-jabatan Keresidenan Aceh kepada Provinsi Sumatera Utara. Maka seja hari itu Pemerintah Umum Keresidenan Aceh dinyatakan tidak ada lagi. Penjelasan tersebut disampaikan melalui Maklumat Residen Aceh No.73-M.R.A.

Meski demikian pemerintahan Provinsi Sumatera Utara dijalankan di Banda Aceh. selain itu Aceh saat itu masih menjadi pusat penghubung diplomasi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan wakil-wakil Indonesia di luar negeri.

Sehari setelah pengumuman pembubaran Residen Aceh, yakni pada 2 Januari 1948, LN Palar wakil Indonesia di luar negeri meminta kepada Gubernur Sumatera Utara di Banda Aceh, MR SM Amin tentang data-data pemerintahan Daerah Modal (Aceh) untuk dijadikan bahan diplomasi di luar negeri. Aceh telah menjadi pengganti peranan pusat pemerintahan Yogjakarta yang telah dikuasi Belanda, biaya dan bahan-bahan untuk diplomasi Indonesia di luar negeri semuanya disuplay dari Aceh.

Baca Juga: Dewan Pertahanan Daerah Aceh Hadapi Agresi Belanda

Namun, ditetapkannya Banda Aceh sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara ini juga menyebabkan itensitas serangan Belanda ke Aceh semakin meningkat. Keadaan di front Sumatera Timur semakin genting, karena adanya pemusatan tentara Belanda di Tanjung Pura. Tujuannya, untuk serangan besar ke Pangkalan Brandan, dan Aceh.

Aceh sebagai daerah modal dan benteng terakhir Republik Indonesia saat itu, tak menginginkan Belanda masuk. Belanda harus dihadapi di luar Aceh, karena itu pula Angkatan Perang Divisi X dari Aceh dikirim ke front Medan Area untuk menghalau Belanda mendekati perbatasan Aceh.

Komandan Resimen Tentara Pelajar Islam (TPI) Aceh juga memberi kuasa kepada Kepala Staf Komando Seksi III Bagian Penerangan, Teuku Usmanbasjah untuk membentuk koresponden perang di setiap batalyon dan kompi di seluruh Aceh.

Baca Juga: Fatwa Jihad Ulama Aceh dan Hukuman Bagi Yang Melanggarnya

Tiga hari kemudian, Panglima Tentara Teritorial Sumatera Kolonel Hidajat mengeluarkan sebuah komunike yang berisi seruan agar rakyat dan angkatan perang melakukan perlawanan totaliter, bumi hangus, dan gerilya yang offensoffensiv terhadap Belanda sampai mencapai kemenangan. Menjawab komunike itu pasukan-pasukan dari Aceh terus dikirim ke Sumatera Timur untuk menghalau militer Belanda.

Akibat pembubaran pemerintahan Keresidenan Aceh, Komisariat Pemerintah Pusat di Sumatera mengumumkan bahwa Residen Aceh Tuanku Mahmud diperbantukan pada Gubernur Sumatera Utara.

Kemudian pada 13 Januari 1949 diumumkan bahwa Jawatan Penerangan Residen Aceh di Banda Aceh dijadikan sebagai Jawatan Penerangan Provinsi Sumatera Utara. Kepada Jawatan Penerangan Aceh Oesmal Raliby dengan keputusan Komisaris Pemerintah Pusat di Bukittinggi tanggal 1 Desember 1948 diangkat menjadi Kepala Jawatan Penerangan Provinsi Sumatera Utara.

Baca Juga: Masjid Raya Baiturrahman Diresmikan Belanda

Masih pada 13 Januari 1949, Gubernur Sumatera Utara di Banda Aceh MR SM Amin melalui keputusan No.7-GSO-P-49 memutuskan, sejak tanggal 14 Desember 1948 menetapkan Anggota Badan Eksekutif Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara terdiri dari: Amelz, M Noer El Ibrahimy,  M Yoenan Nasution, Malanton Siregar, dan Jahja Siregar.

Pada 15 Januari 1049, untuk menyokong jalannya pemerintahan, Gubernur Sumatera Utara di Banda Aceh MR SM Amin melalui keputusan No.21-IN-GSO-49 mengangkat beberapa pejabat: Moeid, pengawai menengah keuangan tingkat pertama ditunjuk sebagai Kepala Kantor Pembantu Bendahara Negara di Banda Aceh, Darwis pegawai menengah keuangan tingkat pertama ditunjuk sebagai Kepala Kantor Pengawas Kas-Kas Negara di Banda Aceh, Djohan Abbas, pengawai keuangan tingkat pertama ditunjuk sebagai Kepala Kantor Kas Negara di Banda Aceh, Abdoel Moenir, menjadi pengatur usaha tingkat pertama pada Kantor Pembantu Bendahara Negara di Banda Aceh, Noerdin menjadi pengatur usaha tingkat pertama pada Kantor Pembantu Bendahara Negara di Banda Aceh.

Lebih lengkap tentang hal tersebut bisa dibaca dalam buku Sekali Republiken Tetap Republiken diterbitkan oleh Lembaga Sejarah Aceh (LSA) pada tahun 1990. Buku ini ditulis oleh Teuku Alibasjah Talsya, pelaku pejuang kemerdekaan di Aceh. []

Baca Juga: Nama Kutaraja Dikembalikan Jadi Banda Aceh

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS